Senin, 19 Oktober 2015

Contoh Makalah Tokoh Hukum Islam di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dengan adanya modernisasi-pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru muncul berbagai respons dari para ulama dan intelektual Islam Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari adanya dua teori besar dalam pemikiran hukum Islam, yang memiliki paradigma dan cara pandang yang berbeda juga saling bertentangan. Kedua teori tersebut adalah Teori Keabadian atau Teori Normativitas Hukum Islam dan Teori Adaptabilitas Hukum Islam. Teori pertama berasumsi dan meyakini bahwa hukum Islam sebagai hukum yang ditetapkan oleh Tuhan yang tidak mungkin bisa diubah dan tidak beradaptasi dengan zaman. Sementara teori kedua berasumsi bahwa hukum Islam sebagai hukum yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan umat manusia yang bukan saja bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman tetapi juga bisa diubah untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Dengan berdasarkan teori adaptabilitas hukum kami mencoba mencermati dan memetakkan berbagai ide pemikiran dari para ulama dan intelektual Islam sepanjang era 1970 sampai 2000. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami akan mengkaji tokoh-tokoh hukum Islam (fiqh) beserta pemikiran-pemikirannya yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemikiran hukum Islam menurut Hasbi ash-Shiddieqy ?
2.      Bagaimana pemikiran hukum Islam menurut Hazairin ?
3.      Bagaimana pemikiran hukum Islam menurut Munawir Sjadzali ?
4.      Bagaimana pemikiran hukum Islam menurut Masdar F. Mas’udi ?
5.      Bagaimana pemikiran hukum Islam menurut M. A. Sahal ?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut Hasbi ash-Shiddieqy
2.      Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut Hazairin
3.      Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut Munawir Sjadzali
4.      Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut Masdar F. Mas’udi
5.      Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut M. A. Sahal





















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Fiqh Indonesia: Tema Pemikiran Hukum Islam Hasbi ash-Shiddieqy (1905-1975 M)
1.      Fiqh dengan kepribadian Indonesia
Munculnya gagasan Fiqh Indonesia oleh Hasbi ash-Shiddieqy, seorang pakar dalam berbagai studi keislaman, pada sekitar tahun 1940. Melalui tulisan-tulisannya Hasbi menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fiqh dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan kebutuhan nusa dan bangsa Indonesia. Menurutnya pemikiran Hukum Islam yang telah ada terasa tidak relevan dan perlu ditinjau ulang yang sesuai dan dapat dipraktikkan di Indonesia. Hingga tahun 1948 gagasan Fiqh Indonesia belum atau bahkan tidak mendapatkkan respon yang memadai (positif) dari masyarakat.[1]
Berangkat dari kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran Fiqh Indonesia hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya, hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang dari bidang mu’amalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid (ulama lokal) dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap kebaikan (sense of mashlahah) yang tinggi, dan kreativitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif, melalui sebuah lembaga permanen dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya, upaya ini akan menghasilkan produk hukum yang relatif lebih baik dibanding apabila hanya dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang sama.
Puncak dari pemikiran ini terjadi pada 1961, ketika dalam satu acara Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, ia memberikan makna dan definisi Fiqh Indonesia secara cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema “Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman”, Hasbi secara tegas mengatakan :
“Maksud untuk mempelajari syari’at Islam di universitas-universitas Islam sekarang ini, supaya fiqh atau syari’at Islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama bagi perkembangan hukum-hukum di tanah air kita yang tercinta ini. Maksud kita supaya dapat menyusun suatu fiqh yang berkepribadian kita sendiri, sebagaimana sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang berusaha me-Mesir-kan fiqhnya.
Fiqh Indonesia ialah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.
Fiqh yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini sebagiannya adalah fiqh Hijaz, fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di Hijaz, atau fiqh Mesir, yaitu fiqh yang telah terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan Mesir, atau fiqh Hindi, yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar ‘urf dan adat istiadat yang berlaku di India.
Selama ini kita belum menunjukkan kemampuan untuk berijtihad, menunjukkan hukum fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijazi atau fiqh Iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid.”[2]
Mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hukum Islam baru, dalam amatan Hasbi, menjadi satu keniscayaan. Syari’at Islam menganut asas persamaan. Egalitarianisme Islam memandang semua masyarakat adalah sama di hadapan Allah. Konsekuensinya, semua ‘urf dari setiap masyarakat−tidak hanya ‘urf dari masyarakat Arab saja−dapat menjadi sumber hukum. Sejalan dengan itu, Islam datang tidak dimaksudkan untuk menghapus kebudayaan dan juga syari’at agama yang telah ada, selama ia tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, yaitu tauhid. Dengan demikian, ‘urf dalam batas-batas tertentu akan selalu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam. Dari titik ini, pembentukan Fiqh Indonesia harus mempertimbangkan ‘urf yang berkembang di Indonesia.
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ide Fiqh Indonesia atau “fiqh yang berkepribadian Indonesia”, yang berlandaskan pada konsep bahwa hukum Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah hukum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang tidak bertentangan dengan syara’.[3]
2.      Metode dan aplikasi pemikiran
Dalam pandangan Hasbi, pemikiran hukum Islam harus berpijak pada prinsip mashlahah mursalah, keadilan, dan kemanfaatan. Prinsip mashlahah mursalah mengandaikan bahwa eksistensi sebuah hukum pada dasarnya dimaksudkan untuk melahirkan kemaslahatan bagi manusia baik level dharurat, hajiyat, maupun tahsiniyyat.[4]
Beberapa aplikasi pemikiran Hasbi meliputi aspek permasalahan fiqh, baik ibadah, mu’amalah, munakahat, maupun qada’, mengekspresikan pemikiran fiqh dengan cita rasa budaya Indonesia. Dari hasil ijtihad Hasbi yang mencerminkan fiqh Indonesia terlihat dalam fatwa hukum jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Di sini ia berbeda pendapat dengan Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Ahmad Hassan dari Persis yang mengharamkan praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan karena beberapa alasan, diantaranya adalah karena hukum haram tersebut dilandaskan pada qiyas. Dalam pandangan Hasbi, mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash yang qath’i, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang mengharamkan praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, Hasbi menyadari bahwa praktik berjabat tangan sudah sekian lama hidup dan menjadi tradisi (‘urf) di masyarakat Indonesia. Dan karena Hasbi tidak melihat tradisi ini sebagai hal yang berbahaya maka tidak ada alasan untuk melarangnya.[5]
Kemudian pemikiran Hasbi yaitu mengenai zakat. Hasbi berpendapat bahwa mesin-mesin produksi yang memang digunakan sebagai alat memprodusir barang-barang dengan tujuan untuk memperoleh hasil dan keuntungan, sudah barang tentu dikenakan pungutan zakat juga.[6] Oleh karena itu, untuk menghasilkan pengumpulan zakat, hendaklah para pengusaha mengadakan “badan ‘amaliah” atau “pegawai-pegawai zakat”.
Kata asy-Syirazy : “wajib atas kepala negeri mengadakan badan ‘amaliah (pengumpul zakat) dan mengutus mereka pergi memungut zakat dan mengumpulkannya dari yang bersangkutan.”[7]
B.     Fiqh Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) : Tema Pemikiran Hukum Islam Hazairin ( 1906-1975 M)
1.      Sebuah upaya penyatuan nilai-nilai adat dengan hukum Islam
Masalah besar yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah bagaimana membentuk satu pemikiran hukum Islam yang sesuai dengan tradisi (adat) yang ada di wilayah ini. Pandangan seperti ini merupakan proses awal dari keseluruhan cita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Kenyataan bahwa selama ini umat Islam hanya mengikuti jalur pemikiran fiqh madzhab syafi’i, ternyata memberikan pengaruh terhadap karakter pembaruan dan nasib pemikiran hukum Islam di Indonesia.[8]
Dalam amatan Hazairin bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang mewartakan bahwa pintu Ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa dijadikan sebab dan konsiderasi akan perlunya memikirkan konstruk madzhab baru yang lebih relevan dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya madzhab hukum Syafi’i harus dikembangkan sehingga mampu menjadi bagi resolusi permasalahan spesifik masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan pandangan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menginginkan membentuk fiqih Indonesia dengan cara menggunakan semua hukum madzhab yang telah ada (Muqaranah Al-Madzahib) sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya, Hazairin justru menginginkan pembentukan fiqih madzhab nasionalnya ini dengan titik berangkat dari pengembangan fiqih Madzhab Syafi’i.[9]
Menurut Hazairin, dengan merujuk pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945 maka sebenarnya tidak perlu lagi terjadi kontradiksi antara sistem hukum adat, hukum positif dan hukum agama. Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan hukum baru yang berkontradiksi dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan hukum agama yang lain, begitu pula sebaliknya.
Bisa dikatakan ide Hazairin merupakan prolifelari (pengembangan) dari gagasan fiqih madzhab Indonesia oleh Hasbi Ash-Shiddieqy. Titik temu pandangan keduanya terletak pada entri bahwa hukum adat masyarakat Islam Indonesia harus digunakan sebagai bahan konsiderasi utama dalam proses pembentukan hukum Islam di Indonesia. Dalam hal ini, Hazairin berusaha melempangkan pemikiran Hasbi yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu upaya mempersatupadukan nilai-nilai yang berasal dari adat maupun hukum Islam ke dalam satu entitas hukum.[10]
2.      Metode dan penerapan pemikiran
Dalam amatan Hazairin, fiqh ahl as-sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan patrilineal, dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum berkembang. Hal ini menyebabkan para mujtahid berpandangan sempit, karena belum adanya perbandingan-perbandingan mengenai berbagai hal terkait masalah hukum, terutama dalam masalah kewarisan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila dalam pengimplementasiannya terjadi konflik antara sistem kewarisan yang dihasilkan ahl as-sunnah dengan sistem kewarisan adat dalam berbagai lingkungan masyarakat Indonesia.[11]
Hazairin memahami dan mengakui keberadaan fiqh dan juga ushul fiqh sebagai produk dan metode pemikiran hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan makhluk hidup selainnya, dan antara manusia dengan segala macam benda. Sebagai hasil pemikiran, fiqh bisa melahirkan norma (hukum). Sedangkan ushul fiqh sebagai ‘pokok’ dari fiqh adalah spare part yang mampu menggerakkan pemikiran ijtihâd dengan landasan al-Qur’an, sunnah, ijmâ’, dan qiyas. Dimensi pemikiran hukum yang selama ini tertuang dalam kitab fiqh, dengan demikian, senantiasa akan menerima perubahan-perubahan dari segi materi maupun metode pengembangannya.
Usaha untuk merekonstruksi format fiqh baru, menurut pandangan Hazairin, dapat dimulai dengan tafsir otentik atas al-Qur’an. Dalam analisis dan hasil temuan dari studi tentang pemikiran waris Hazairin yang dilakukan oleh Al-Yasa Abu Bakar, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter sumber-sumber hukum Islam, yakni sunnah, ijma’, dan qiyas memungkinkan untuk digugat hasil ketetapan ijtihadnya.[12]
Diantara pemikiran Hazairin yaitu mengenai konsep warisan dan perkawinan. Menurut Hazairin, konsep hukum Islam yang selama ini berjalan dengan menganut sistem patrilineal (menarik garis keturunan hanya dari arah laki-laki saja) sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah (Arab). Hukum kewarisan dalam al-Qur’an bagi Hazairin, esensinya menganut sistem bilateral, yakni menarik harta dari pihak ayah dan ibu.[13]
Menurut Hazsirin, agama dan adat bersetolongan, umpamanya dalam hal menolak perzinahan dan pelacuran, yaitu sama-sama menentang kepada hukum pidana gubernemen, yang dianggap kurang sempurna dalam hal itu baikpun bagi rakyat adat maupun bagi rakyat Islam.[14]
C.     Reaktualisasi (Kontekstualisasi) Ajaran Islam: Tema Pemikiran Hukum Islam Munawir Sjadzali (1925-...)
1.      Sebuah upaya reinterpretasi doktrin Islam
Gagasan reaktualisasi ajaran dalam hukum Islam, yang pertama kali ditawarkan oleh Munawir Sjadzali pada 1985, secara faktual berangkat dari berbagai problem empiris. Munawir menganggap bahwa kaum muslimin sering kali bersikap ambivalen dalam beragama. Di satu sisi, mereka sebenarnya kurang menyukai doktrin lama sekalipun tidak berani memodifikasi atau meninggalkannya. Namun di sisi lain, secara sembunyi-sembunyi mereka mencoba mencari celah aman bagi persoalan keagamaan yang dihadapinya, dengan sedikit memaksakan kehendak suatu aturan hukum yang seharusnya dipakai dalam konteks permasalahan lain.[15]
Reaktualisasi sendiri mengandung arti upaya melakukan reinterpretasi terhadap doktrin Islam yang dalam rentang waktu cukup panjang telah memiliki validitas sendiri. Sebagai gerak alami, reaktualisasi harus dilakukan untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum (ushûl al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawâ’id al-fiqh) akan membentengi dan menjaga agar proses penafsiran kembali (reinterpretasi) yang dilakukan, secara substansial tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam materi hukum yang setatusnya ingin ditafsir ulang, dan juga tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari kontitum awalnya.[16]
2.      Metode dan aplikasi
Munculnya pemikiran reaktualisasi hukum Islam Munawir sebenarnya berangkat dari beberapa pandangan dasar, yakni: pertama, bahwa pintu ijtihâd selalu terbuka; kedua, di dalam aI-Qur’ân dan hadits terdapat naskh; ketiga, hukum Islam bersifat dinamis dan elastis; keempat, kemaslahatan dan keadilan merupakan tujuan syari’at; dan kelima, keadilan adalah dasar kemaslahatan.
Arti penting reaktualisasi ajaran Islam yang digagas oleh Munawir terletak pada penafsirannya tentang masalah kewarisan. Pembahasan masalah ini terangkai dalam uraian panjangnya mengenai status dan kedudukan perempuan. Dalam pandangan Munawir, Islam sebenarnya mengajarkan prinsip persamaan antara sesama manusia, tanpa ada perbedaan derajat atau tingkat yang didasarkan atas kebangsaan, kesukuan, dan keturunan.
Dengan mengacu pada QS. Al-Hujurât ayat 13, Munawir dengan tegas menyatakan bahwa menurut Islam kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Mengenai ayat-ayat al-Qur’ân (QS. al-Baqarah [2]: 228, dan an-Nisa’ [4]: 34) yang secara vulgar sering dimaknai bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan, dalam amatan Munawir, ayat-ayat itu tidak bisa dimaknai bahwa perempuan tidak mempunyai hak sama sekali atas kepemimpinan. Begitu juga salah apabila ayat ini dipahami bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan membawa akibat bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat persamaan, baik dalam kedudukan maupun hak dan kewajiban. Pembagian tugas antara mereka berdua tidak dapat pula diartikan perbedaan derajat dan tingkat di antara mereka, baik di muka Allah, di muka hukum, maupun di tengah masyarakat.[17]
D.    Agama Keadilan: Tema Pemikiran Hukum Islam Masdar F. Mas’udi (1954-...)
1.      Sebuah upaya penegakkan kembali cita-cita sosial Islam
Munculnya tema pemikiran Islam Masdar ini ditandai dengan terbitnya buku Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, pada 1991, yang kemudian diikuti dengan terbitnya buku kedua yang berjudul Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan pada 1997. Dalam buku pertama Masdar coba membangun dan menawarkan garis-garis dasar pemikiran (paradigma) hukum Islam alternatif yang nantinya dipergunakan dalam membuat analisis model baru atas berbagai persoalan sosial-keagamaan. Dalam hal ini, permasalahan zakat menjadi eksperimentasi analisis pertamanya. Sedangkan pada buku kedua, sebagaimana paradigma pisau analisis yang dipakai dan diintrodusir dalam buku pertama, Masdar menggunakannya dalam ranah pembahasan hak-hak reproduksi perempuan.
Titik temu pemikiran-pemikiran Masdar dalam kedua bukunya ini, selain pilihan paradigmanya sama, kedua buku tersebut juga didominasi pembahasan tentang kemaslahatan-keadilan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia.[18]
2.      Rekonstruksi konsep qath’i zhanni
Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini berjalan bisa dikatakan hanya menjangkau sasaran yang bersifat zhanni (teks yang tidak pasti) dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini sebagai qath’i (teks yang dianggap pasti). Menurut Masdar, dengan meletakkan maslahah sebagai asas ijtihad maka konsep lama tentang qath’i-zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya. Disinilah pentingnya rekonstruksi konsep qath’i-zhanni agar lebih punya tenaga (power) dalam memberikan kontitum pemecahan berbagai masalah.
Dalam pandangan Masdar, apa yang disebut sebagai dalil qath’i adalah nilai kemaslahatan keadilan, yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dalil zhanni adalah seluruh ketentuan teks, ketentuan normatif yang bisa digunakan untuk menerjemahkan qath’i (nilai kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, benar adanya jika dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah qath’i, dan hanya bisa dilakukan pada wilayah zhanni. Berdasarkan hal ini maka hukum potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, presentase jumlah pembagian waris, monopoli hak talak bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan teknis yang bersifat nonetis, masuk kategori nash yang zhanni.[19]
3.      Masalah zakat (pajak) dan hak-hak reproduksi perempuan
Dalam amatan Masdar, masalah zakat merupakan ajaran pokok Islam. Ajaran zakat bukan hanya untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatan dan keadilan semesta, rahmatan lil ‘alamin. Relasi antara “zakat” sebagai konsep keagamaan (keruhanian), di satu sisi, dan “pajak” sebagai konsep keduniawian (kelembagaan), di sisi lain, sama sekali bukan dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis.[20]
Persoalan yang digagas oleh Masdar juga mengenai konsep Islam tentang hak-hak reproduksi perempuan. Dalam pendangannya, bias gender yang terjadi dalam penafsiran teks keagamaan, telah memunculkan corak pemahaman yang merugikan perempuan. Sebuah contoh penafsiran terhadap Q.S. al-Baqarah [2]: 223: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki. Menurut Masdar, ayat ini sangat mungkin lebih dimaksudkan sebagai pemberitahuan tentang kesuburan wanita tentang seks. Akan tetapi, para ulama memahaminya sebagai diktum bahwa wanita (istri) itu, dalam keadaan apapun harus memenuhi keinginan seksual suami. Dengan pemahaman seperti ini, suami bisa berbuat bebas sekehendak hatinya tanpa memerhatikan kepentingan isteri dalam hal yang sama (seks). Jika isteri menolak ajakan seks suaminya, dikatakan dosa besar, akan tetapi tidak pernah diungkapkan sebaliknya, dalam arti seorang suami juga akan mendapatkan dosa yang sama besarnya jika ia menolak kehendak seks isterinya.[21]
E.     Fiqh Sosial: Tema Pemikiran Hukum Islam M.A. Sahal Mahfudh (1937-...) dan Ali Yafie (1923-...)
1.      Sebuah ikhtiar aktualisasi fiqh madzhab (klasik)
Sahal Mahfudh yang mengatakan bahwa sebagai penjabaran syari’ah Islam, Fiqh Sosial berusaha melakukan penataan terhadap hal ihwal manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan individu dalam bermasyarakat dan bernegara. Pemikiran yang mengindikasikan adanya optimisme dan pesimisme ketika hendak mengimplementasikan fiqh tradisional secara. Rasa optimisme muncul karena secara teoretis dimensi ajaran yang ditawarkan oleh khasanah literatur klasik cukup komprehensif, sedangkan rasa pesimisme itu ada karena ajarannya dinilai banyak yang anakronistik (ketinggalan zaman). Sehingga wajar jika wacana Fiqh Sosial dipahami sebagai upaya hukum fiqh tradisional dalam konteks transformasi sosial, sebuah ikhtiar tentang bagaimana mengaplikasikan dan mengharmonikan ajaran-ajaran fiqh dengan persoalan-persoalan yang muncul dan berkembang.[22]
Wacana Fiqh Sosial telah dimulai sejak timbulnya pertentangan seputar “nasib” fiqh klasik (fiqh mazhab). Fiqh “difitnah” sebagai sumber segala kemujudan yang terjadi di dunia Islam, karenanya perlu diubah atau dekonstruksi. Kritik tajam ini bahkan merambah pada wilayah ushul al-fiqh dan qawaid ql-fiqhiyyah-nya, yang dianggap kaku, sempit, dan tidak adaptable. Berangkat dari sini, Sahal Mahfudh dan Ali Yafie, sebagai representasi dari masyarakat tradisionalis mencoba merespon kritik tajam tersebut dengan melakukan advokasi terhadap fiqh klasik. Langkah ini kemudian dilanjutkan dengan memparalelkan munculnya wacana Fiqh Sosial secara formal dengan diiringi terbitnya dua buku yang berjudul Wacana Fiqh Sosial karya Ali Yafie dan Nuansa Fiqh Sosial karya M. A. Sahal Mahfudh pada tahun 1994.
2.      Dari tekstualis terbatas ke kontekstualis
Metode penetapan hukum atau istinbath al-hukm merupakan spare part yang paling penting dan berpengaruh pada produk hukum yang dihasilkan. Dalam Bahts al-Masail NU, istilah istinbath hukum tidak banyak dikenal, sebab ia cenderung berkonotasi istihkraj al-hukm min an-nushush (mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan hadits), yang hanya bisa dilakukan oleh mujtahid mutlak. Di dalam perspektif Bahts al-Masail, penggunaan istilah istinbath al-hukm menjadi dipertanyakan tingkat akurasinya. Oleh karena itu, dalam banyak keputusan hukum, yang dicantumkan sebagai dasar adalah pendapat (qaul) ulama mujtahid yang dipandang credible dari ranah kitab yang mu’tabar (diakui kesahihannya).
3.      Fiqh dan etika sosial
Salah satu pemikiran Sahal Mahfudh adalah tentang pajak. Sahal Mahfudh menyatakan bahwa dalam prosesnya masyarakat sering tidak tahu ke mana larinya uang pajak itu. Dengan pernyataan ini, sebenarnya ia sedang mengutarakan soal pentingnya kontrol dan partisipasi masyarakat secara penuh dalam proses bernegara.
Kemudian pemikiran Sahal Mahfudh dan Ali Yafie adalah konsep maslahah. Konsep ini mengenai proses pelaksanaan pemerintah apakah betentangan dengan fiqh atau tidak, digunakan sejumlah kaidah fiqh sebagai tolak ukurnya, seperti “kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat”. Namun bagaimana cara mengukur dan merumuskan makna maslahah yang tepat ? Di sinilah konsep mashalah Sahal Mahfudh dan Ali Yafie timbul.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Hasbi ash-Shiddieqy hukum Islam di Indonesia haruslah sesuai dengan adat atau kepribadian di Indonesia, kemudian Hazairin berpandangan bahwa hukum Islam Indonesia yang sudah menganut Mazhab Syafi’i seharusnya mengalami perkembangan. Sedangkan Munawir Sjazali membahas mengenai warisan, Masdar F. Mas’udi memiliki pandangan mengenai keadilan seperti tentang zakat dan hak-hak reproduksi perempuan, serta Sahal Mahfudh dan Ali Yafie yang berpandangan Fiqh Sosial.
B.     Saran
Dari pembahasan di atas kami mengharapkan hukum-hukum di Indonesia selalu mengalami perkembangan. Namun tidak lupa hukum-hukum yang sudah ada pun harus berjalan dengan baik.







DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Mahsun. 2005. Hukum Islam Indonesia. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1987. Pedoman Zakat. Jakarta: Bulan Bintang
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1969. Zakat: Sebagai Salah Satu Unsur Pembina Masyarakat
Sejahtera. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Hazairin. 1976. Hendak Kemana Hukum Islam. Jakarta: Tintamas Indonesia
Hazairin. 1950. Hukum Baru Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang


[1]Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta : LkiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 64-65
[2]Ibid., hlm 65-67
[3]Ibid., hlm 68-69
[4]Ibid., hlm 69
[5] Ibid., hlm. 73
[6] Prof.T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Zakat: Sebagai Salah Satu Unsur Pembina Masyarakat Sejahtera, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1969), hlm. 40  
[7] Prof.Dr.T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 77-78
[8] Ibid., hlm .75
[9] Ibid., hlm. 77
[10] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976), hlm. 3-18
[11] Ibid., hlm 78-79
[12] Ibid., hlm 80-81
[13] Ibid., hlm. 82
[14] Hazairin, Hukum Baru Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1950),hlm. 7
[15] Ibid.,hlm. 86
[16] Ibid., hlm. 87
[17] Ibid., hlm. 94
[18] Ibid., hlm. 95-96
[19] Ibid., hlm. 100
[20] Ibid., hlm. 102-103
[21] Ibid., hlm. 104-105
[22] Ibid., hlm. 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kenapa???

kenapa?? selalu orang lain melihat dari apa yang nampak saat ini, ia tak pernah melihat bagaimana proses yang telah dilakukan sebelumnya. ...