BAHASA JAWA
YOGYAKARTA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu : Dr. Sembodo Ardi Widodo,
S.Ag., M.Ag.
Disusun oleh :
Muhammad Taufan 15420 055
Adelina Fatnin 15420110
Asmak Anisah 15420113
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun untuk menambah isi makalah agar menjadi lebih baik
lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami. Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi penyempurnaan makalah ini.
Yogyakarta, 28
Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Masalah.................................................................................. 1
b. Rumusan Masalah............................................................................................ 2
c. Tujuan.............................................................................................................. 2
B. PEMBAHASAN
a. Sejarah Bahasa
Jawa....................................................................................... 3
b. Dialek Bahasa
Jawa Standar .......................................................................... 4
c.
Ragam Tutur.................................................................................................... 8
d. Tingkatan
Bahasa Jawa................................................................................... 8
e.
Kerata Basa................................................................................................... 11
f.
Persamaan Kata dalam Bahasa Jawa dengan bahasa
yang lain..................... 12
g.
Bahasa Pujian dan Bahasa Ejekan................................................................. 13
h. Pemertahanan
Bahasa Jawa........................................................................... 15
C. PENUTUP
a. Kesimpulan.................................................................................................... 16
b. Saran ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang
majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa, ada di dalamnya.
Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini semakin beragam. Setiap
suku, pasti memiliki bahasa tersendiri, sebut saja suku Jawa, Sunda, Batak,
Bugis, Dayak, itu hanya sebagian kecil saja. Menarik perhatian adalah tentang
bahasa Jawa. Bahasa Jawa termasuk salah satu bahasa yang sudah kita kenal dan
sudah kita gunakan sedari kita kecil. Sadar atau tidak, bahasa krama Jawa
ternyata sangat mempengaruhi kita. Diantara semua orang yang berada di Jawa,
sebagian besar dari mereka pasti mengajarkan bahasa krama kepada anak-anaknya
semenjak lahir.
Bahasa Jawa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari.Dari segi kuantitas, pemakai bahasa jawa lebih dari 150.000.000
jiwa dan tinggal dimana-mana. Daerah
pemakaian tersebut membentang dari perbatasan Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Jogjakarta, sampai Jawa Timur. Dengan demikian bahasa Jawa juga
memiliki dialek yang tidak sedikit jumlahnya, misalnya dialek pesisir Utara
Jawa Tengah, dialek Banyumasan, dialek Banyuwangi, dialek Surabaya, dan dialek
Jogjakarta.
Bahasa Jawa dengan penutur yang sangat besar ini,
belum seluruhnya dari mereka menggunakannya dengan baik dan benar. Masyarakat
Jawa mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk mengembangkan bahasa Jawa,
tetapi sering terhalang oleh komunikasi modern yang jauh dari bahasa Jawa.
Seiring berjalannya waktu, ada pergeseran pemakaian bahasa Jawa terutama di
wilayah Yogyakarta yang tentunya cukup banyak faktor yang mempengaruhi
pergeseran ini. Oleh karena itu, pemerintah harus turut berupaya mempertahankan
bahasa Jawa khususnya di Yogyakata dengan memberikan strategi-strategi agar
tidak tergeser oleh modernitas.
B. Rumusan Masalah
Rmusan masalah pada makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana
sejarah Bahasa Jawa?
2. Bagaimana
dialek dalam Bahasa Jawa?
3. Bagaiman ragam
tutur dalam Bahasa Jawa?
4. Bagaimana
tingkatan dalam Bahasa Jawa?
5. Bagaimana cara
melestarikan Bahasa Jawa?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini sebagai berikut.
1. Mengetahui dan
memahami sejarah Bahasa Jawa
2. Mengetahui dan
memahami dialek dalam Bahasa Jawa
3. Mengetahui dan memahami
ragam tutur dalam Bahasa Jawa
4. Mengetahui dan
memahami tingkatan dalam Bahasa Jawa
5. Mengetahui dan
memahami bagaimana cara melestarikan Bahasa Jawa
BAB II
ISI
A. Sejarah Bahasa
Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa pertama penduduk
Jawa yang tinggal di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, daerah-daerah transmigrasi di Indonesia,
di antaranya sekitar Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan beberapa
tempat di luar negeri, yaitu Suriname, Belanda, New Caledonia, dan Pantai Barat
Johor. Jumlah penuturnya sekarang 75,5 juta. Di dunia terdapat 6.703 bahasa. Bahasa
Jawa menempati urutan ke-11 dalam hal jumlah penutur terbanyak.
Bahasa Jawa secara diakronis berkembang dari Bahasa
Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno berkembang dari bahasa Jawa Kuno Purba. Bahasa Jawa atau disebut Bahasa Jawa Baru/Modern
dipakai oleh masyarakat Jawa sejak sekitar abad 16 sampai sekarang. Berkembangnya
Bahasa Jawa Baru bersamaan dengan beralihnya kebudayaan Hindu-Budha-Jawa kekebudayaan
Islam-Jawa. Bahasa Jawa Baru, yang banyak mendapat pengaruh kosa kata bahasa
Arab, dipakai sebagai wahana baik lisan maupun tertulis dalam suasana kebudayaan
Islam-Jawa. Dalam suasana itu ragam tulis
bahasa Jawa tidak hanya ditulis dengan huruf Jawa dan Latin saja, tetapi juga ditulis
dengan huruf Arab. Huruf Arab dipakai dan disesuaikan dengan system bahasa Jawa
dan diubah menjadi huruf Pegon[1].
Bahasa Jawa Kuno
dipakai oleh masyarakat Jawa sejak abad pertama Masehi sampai dengan abad
ke-15. Mulai abad pertama sampai dengan keenam, Bahasa Jawa Kuno hanya dipakai secara lisan. Bahasa jawa Kuno banyak mendapat pengaruh tambahan
kosakata Sansekerta. Jumlah kosakata dari bahasa Sansekerta mencapai 45% dari keseluruhan
kosakata bahasa Jawa Kuno yang ada. Bahasa
Jawa Kuno dipakai sebagai wahana baik lisan maupun tulisan dalam suasana kebudayaan
Hindu-Budha-Jawa sejak abad ke-7 sampai dengan abad ke-15. Huruf yang dipakai mula-mula
ialah Pallawa kemudian diciptakan huruf Jawa Kuno. Pemakaian Bahasa Jawa Kuno tertua
tertulis ialah pada Prasasti Sukabumi berangka tahun 726 Saka (25 Maret 804
Masehi).Karya sastra yang paling awal disadur dalam bahasa Jawa Kuno dengan huruf
Jawa Kuno pada abad ke-19 ialah Ramayana dan Mahabarata berasal dari India.
B.
Dialek Bahasa Jawa Standar
Bahasa Jawa dialek standar mencakupi daerah Yogya dan Solo. Oleh
karena itu, sering disebut dialek Yogya-Solo. Dialek standar ini dengan berbagai
perubahan isolek, juga digunakan di daerah sekitar Yogyakarta, seperti Purworejo,
Magelang, Temanggung, dan beberapa kabupaten di sekitar Surakarta, seperti Klaten,
Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri. Sebagai dialek dengan pemakaian di tengah,
dialek standar memiliki dua wilayah antara atau wilayah peralihan.Wilayah
peralihan bagian timur berada di sekitar Pacitan, Madiun, dan Grobogan; wilayah
peralihan bagian barat berada di sekitar Prembun, Wonosobo, dan Banjarnegara[2].
Bahasa Jawa dialek standar memperlihatkan beberapa kekhasan lingual. Kekhasan
itu berupa tata bunyi (fonetik), struktur (gramatika), dan kosakata (leksikon).
a.
Kekhasan
Tata Bunyi (fonetik) Dialek Standar
Dialek standar memiliki enam fonem vocal dan dua puluh tiga fonem konsonan.Sebagai satu dialek, fonem dialek standar memperlihatkan kekhassan jika dikontraskan dengan dialek yang lain. Kekhasan fonem itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekhasan fonem vocal dan fonem konsonan.
·
Kekhasan fonem vocal
Kekhasan fonem vocal yang dimiliki dialek standar, yaitu di antaranya sebagai berikut:
a)
Fonem
/i/
Fonem /i/ yang berposisi pada suku ultima (sukuakhir) tertutup diucapkan [I], tetapi pada dialek lain diucapkan [i] (pada dialek Banyumas) atau [ä] ( pada dialek Pesisir
Utara-Tengah).
b)
Fonem
/u/
Fonem
/u/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [U], tetapi pada dialek lain diucapkan [u] (pada dialek Banyumas) atau [Í»] pada dialek Pesisir Utara-Tengah).
c)
Fonem
/a/
Fonem
/a/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [a], sedangkan yang berposisi pada suku ultima terbuka diucapkan [É‘]. Pada dialek lain, fonem /a/ diucapkan (1)
[a] pada dialek Banyumas, baik pada posisi ultima maupun pada posisi penultima
dan (2) [É‘] pada dialek Pesisir Utara-tengah, baik pada posisi ultima maupun
pada posisi penultima.
Kekhasan fonem vokal dialek standar seperti
disebutkan pada butir (a)-(c) dapat dilihat pada beberapa contoh berikut:
Fonem Ortografi Fonetik Glos
Dialek
Dialek Dialek Pesisir
Standar Banyumas Utara-Tengah
/i/ getih
[ghÓ™tɪh] [ghÓ™tih] [ghÓ™tÔ‘h] ‘darah’
/u/ abuh [abhUh] [abhUh] [abhUh] ‘bengkak’
/a/ lenga
[lәŋͻ] [lәŋͻˀ] [lәŋͻ] ‘minyak’
b. Kekhasan Fonem
Konsonan
Kekhasan fonem konsonan yang dimiliki dialek standar di antaranya terlihat
pada fonem /p/,/t/,/k/,/Ë€/ jika dikontraskan dengan dialek banyumas dan fonem
/w/, /m/, /h/ jika dikontraskan dengan dialek Jawa Timur.
(a) Fonem /p/ yang
berposisi pada akhir kata diucapkan [b] pada dialek Banyumas.
(b) Fonem /k/ yang
berposisi pada akhir kata diucapkan [g] pada dialek Banyumas
(c) Fonem /Ë€/ yang
berposisi pada akhir kata diucapkan [k] pada dialek Banyumas.
(d) Fonem /t/ yang
berposisi pada pada akhir kata diucapkan [d] pada dialek Banyumas
(e) Fonem /w/ yang
berposisi pada akhir kata diucapkan [wh] pada dialek Jawa Timur
(f) Fonem /m/ yang berposisi
pada awal kata diucapkan [mb] pada dialek Jawa Timur
(g) Fonem /h/ yang
berposisi pada akhir kata menjadi lesap pada dialek Jawa Timur.
Fonem Ortografi Fonetik Glos
Dialek
Dialek
Standar Banyumas
/p/
sebab [sÓ™bhap] [sÓ™bhab] ‘sebab’
/k/ godhog [gÍ»dhÍ»k] [gÍ»dhÍ»k] ‘rebus’
/Ë€/ pundhak [pundhaË€] [pundhak] ‘bahu’
/t/ lemut [lÓ™mut] [lÓ™mut] ‘nyamuk’
/w/ wolu [wÉ”lu] [whÉ”lu] ‘delapan’
/m/ mlayu [mlayu] [mblayu] ‘lari’
/h/ ambah [ambhah] [ambha] ‘jelajah’
c. Kekhasan
Gramatikal Dialek Standar
Bahasa Jawa dialek standar memiliki prefiks, sufiks, dan konfiks. Dalam
kaitannya dengan pemetaan dialek, beberapa afiks itu memeperlihatkan
kekontrasan jika dibandingkan dengan dialek lain. Hal itu dapat dilihat pada
uaraian berikut.
Prefiks dalam dialek standar meliputi {pa-, paN-, pi-, pra-,
pri-, sa-/se-, ka-/ke-, mer-, N-, tak-, kok-, di-, kuma-, kapi-, mi-}.
Prefiks yang menunjukkan kontras dengan dialek lain adalah {tak-/dak-, kok-}.
Contoh bentuk kontras itu dapat dilihat berikut ini.
Afiks Fonetik Glos
Dialek
Dialek Dialek Pesisir
Standar Banyumas Utara-Tengah
{tak-/dak-} [ta?/dʰa?tuku] [tÉ™ktuku] [ta?tuku] ‘kubeli’
{kok-} [kÉ™?tuÓ€Un] [ditʰulunÓ€ kowÉ›] [mÍ»?/mbʰͻ?tulun] ‘kau
tolong’
Infiks dalam dialek standar berjumlah dua buah, yaitu {-in-} dan {-um-/-em-}.
Infiks itu tidak memperlihatkan perbedaan dengan dialek lain.
Sufiks dalam dialek standar, yaitu {-an, -ku, -mu, -é/-né, -a, -i,
-(a)ké, -en, -na, -ana}. Satuan ukuran jumlah, yaitu {-iji, -las/-welas,
-puluh/-jinah, -likur, -atus, -èwu, -yuta, kaping/ping}. Sufiks yang
menunjukkan kontras dengan dialek lain adalah {-(a)ké, -na, -mu}. Contoh
bentuk kontras itu dapat dilihat berikut ini.
Afiks Fonetik Glos
Dialek
Dialek Dialek Pesisir
Standar Banyumas Utara-Tengah
[-(a)ké][gʰambʰar(a)ke] [gʰambʰar(a)kÉ™] [gʰambʰar(a)ke ‘gambarkan’
[-na] [tulisnÍ»] [tulisna?, tuliskÉ™n] [tulisnÍ»] ‘tuliskan’
[-mu] [ibʰumu] [ibʰune kowÉ›] [ibuÉ™m] ‘ibumu’
Konfiks dalam Bahasa Jawa, yaitu {paN-/-an, pi-/-an, ka-/-an,
pra-/-an, N-/-i, N-/-a, N-/-an, mi-/-i, tak-/-(a)ké/né,
tak-/-i, kok-/-(a)ké, kok-/-i, di-/(a)ké, di-/-i, di-/-ana, ke-/-a, ka-/-ana,
ka-/-ana, ka-/-(a)ké, ka-/-an, ke-/-en, kami-/-en, in-/-an, -in-/-(a)ké,
-in/-ana, -in/--na, -in-/-é, sa-/-é}. Kekontrasan yang menunjukkan kebersisteman
pada prefiks dan sufiks juga berlaku pada konfiks. Sebagai
contoh sufiks {-(a)ké} pada dialek standar yang bervariasi dengan {-(a)ken}
pada dialek Banyumas berlaku juga pada konfiks, misalnya konfiks {di-(a)ké}
dialek standar bervariasi dengan {di/-(a)ken} pada dialek Banyumas.
Afiks Fonetik Glos
Dialek
Dialek Dialek
Pesisir
Standar Banyumas Utara-Tengah
{tak-/-(a)ké} [ta?bʰalÉ›?ake] [tÉ™?bʰalÉ›?akÉ™n] [takbʰalekake] ‘kukembalikan’
{kok-/-na} [kÍ»?dʰɛlÉ›hnÍ»] [dʰidʰɛlÉ›hkÉ™n [kÍ»kdʰɛlÉ›hnÍ»] ‘kau letakkan’
marinkowÉ›]
C. Ragam Tutur
Ragam tutur adalah variasi pemakaian bahasa menurut
perbedaan suasana. Berdasarkan perbedaan suasana pemakaiannya, ragam tutur bahasa Jawa dapat dibagi menjadi ragam
formal, ragam informal, dan ragam literer (pustaka). Perbedaan bentuk di antara
ketiga ragam itu cukup jelas. Bentuk bahasa ragam formal cenderung lebih lengkap
sesuai dengan tata bahasa Jawa baku. Ragam formal banyak diapakai dalam bahasa tulis
dan bahasa lisan suasana formal. Ragam informal bentuk bahasanya cenderung kurang
lengkap, banyak pemendekan atau kontraksi kata. Yang dipentingkan oleh penutur pada
ragam informal ialah asal pesannya sampai pada mitra bicara. Ragam informal
banyak dipakai dalam bahasa lisan. Bentuk bahasa ragam literer lebih banyak menggunakan
kosakata klasik dari bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Ragam literer banyak digunakan
dalam bahasa pustaka[3].
Berikut contoh pemakaian kosakata ragam formal,
informal, dan literer.
Ragam Formal
|
Ragam Informal
|
RagamLiterer
|
Arti
|
Sedya
|
Seja
|
Sedya
|
“tujuan, maksud”
|
Ikiwae
|
Kiwé
|
-
|
‘inisaja’
|
Mengkodhisik
|
Ngkosik
|
-
|
‘nantidulu’
|
Sampéyan
|
Samang
|
-
|
‘engkau’
|
D. Tingkatan
Bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa terdapat dua tingkat tutur,
yaitu Basa Ngoko dan Basa Krama.
1. Bahasa Ngoko
Yang dinamakan dengan basa Ngoko yaitu wujud dari tata krama dalam
berbahasa Jawa yang menggunakan kata ngoko. Terdapat awalan, sisipan di tengah
pada kata ngoko yaitu: di-, -e, dan , ake. Bahasa Ngoko ini digunakan untuk
berbicara antara orang tua kepada orang muda atau orang yang kedudukannya lebih
tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah. Bahasa Ngoko juga digunakan
kepada orang yang lebih dekat. Bahasa Ngoko ini terbagi menjadi dua, yaitu
Ngoko Lugu dan Ngoko Alus.
a) Ngoko Lugu
Ngoko Lugu yaitu wujud dari tata krama berbahasa Jawa yang semua katanya
menggunakan kata ngoko, tidak menggunakan kata krama lugu maupun krama alus.
Kata-kata ngoko digunakan untuk berbicara kepada orang pertama atau orang yang
berbicara (O1), orang kedua atau orang yang diajak bicara (O2), dan orang
ketiga atau orang yang dibicarakan (O3). Contoh atau tuladanipun:
i.
Aku wis mangan. (O1)
ii.
Kowe wis mangan? (O2)
iii.
Dheweke wis mangan. (O3)
Contoh yang menggunakan awalan, sisipan, atau akhiran dalam kalimat di awah
ini.
i.
Saiki Dhusun Ponggok wis ngrasakkepadhange lampu
listrik.
ii.
Bukune wis diwaca adhiku wingi sore.
iii.
Kanca-kancaku wis padha mulih kabeh.
b) Ngoko Alus
Ngoko Alus yaitu wujud dari tata krama berbahasa Jawa kata-katanya tidak
hanya menggunakan kata ngoko tetapi juga menggunakan kata krama maupun krama alus. Namun, penggunaan kata
krama atau krama alus tersebut digunakan untuk menghormati orang yang diajak
bicara (O1) atau orang yang dibicarakan (O3). Contoh:
i.
Dhuwite mau wis diasta apa durung, Mas?
ii.
Sing ireng manis kae garwane Pak
Rahmat.
iii.
Kae simbah kakung lagi sare ing kamar.
Contoh di atas meskipun menggunakan kata krama, krama lugu, maupun krama
inggil tetapi kalimat tersebut dinamakan krama alus. Tambahan yang digunakan
dalam krama alus (yang melekat pada kata krama lugu atau krama inggil) masih
sama seperti bahasa Ngoko, yaitu di-, -e, -ake, dan –ne. Pada contoh pertama di
atas, “Dhuwite mau wis diasta apa durung, Mas?”. Pada kalimat tersebut yang
diajak bicara (Mas) lebih tua sehingga menggunakan krama alus yaitu asta.[4]
2. Bahasa Krama
Basa Krama yaitu wujud dari tata krama dalam berbahasa Jawa yang
menggunakan kata krama dalam berbicara. Tambahan yang digunakan dalam bahasa
Krama, yaitu dipun, -ipun, dan –aken. Bahasa Krama digunakan oleh orang muda
kepada orang yang lebih tua atau orang yang kedudukannya lebih rendah kepada
orang yang kedudukannya lebih tinggi. Bahasa Krama dibagi menjadi tiga, yaitu
Krama Lugu dan Krama Alus.
a) Krama Lugu
Krama lugu disebut juga krama madya. Kata-kata yang digunakan dalam kalimat
dapat berupa kata krama dicampur ngoko, madya, krama, maupun krama alus. Pada
umumnya pada krama lugu menggunakan kata-kata krama, madya, sedangkan kata
krama inggil atau krama andhap digunakan untuk menghormati orang yang diajak
bicara. Contoh:
i.
Sakniki nek mboten main plesetan,
tiyang sami kesed nonton kethoprak.
ii.
Mangga Yu, niku nyamikane ditedha, ampun
dikendelke mawon.
Tambahan pada krama lugu terbentuk dari tambahan ngoko, sedangakan
kata-kata kramanya banyak dipecah. Kata-kata krama alus pada kalimat digunakan
untuk menghormati orang yang diajak bicara. Tambahan pada bahasa krama ini
menggunakan tambahan ngoko. Tambahannya berupa di-, -ake, juga mang. Contoh:
i.
Mas, tulung gawan kula niki mangandhapake
riyin.
ii.
Bank BRI niku mboten saged nglintoni arta
dolar.
b) Krama Alus
Krama Alus yaitu wujud dari tata krama dalam berbahasa Jawa yang semua
kata-katanya menggunakan bahasa krama maupun krama inggil. Tambahan yang digunakan dalam ragam krama yaitu dipun-, -ipun, dan –aken. Kata-kata krama
madya dan juga ngoko tidak dapat digunakan dalam ragam krama alus ini.
Penggunaan kata-kata krama inggil untuk menghormati orang yang diajak bicara.
Contoh:
i.
Tembung-tembung punika anggen kula nglempakaken
piyambak saking buku.
ii.
Sarana pitulunganipun Gusti Allah, Nabi
Musa saged wilujeng.[5]
E. Kerata Basa
Dalam bahasa Jawa “kerata” berarti memahami asal usul, dalam hal ini
asal usul bahasa, ditinjau dari suku katanya. Kerata basa disebut juga akronim.
Dalam kerata basa suku kata depan atau suku belakang bisa dicampur aduk, yang
akronim tersebut memberi makna yang sama bagi sebuah kata. Kerata basa juga
disebut “jarwa dhosok” (Jarwa: penjelasan; Dhosok: salah satu artinya
adalah menyatukan. Dengan demikian “jarwa dhosok” kurang lebihnya diartikan:
Penjelasan dari sebuah kata (dari penyatuan suku kata).[6]
Contoh:
1. Brekat: Mak
brek diangkat. Penjelasan: dalam acara selamatan, setelah selesai biasanya yang
hadir, pada umumnya duduk lesehan, diberi berkatan makanan, kue, buah-buahan,
dll. Diletakkan di depan kita “breg” dan waktu pulang tentu saja akan di
“angkat”.
2. Guru: digugu lan ditiru. Penjelasan: orang yang
disebut sebagai guru, semua sikap dan ucapan nya dapat menjadi teladan.
3. Gedhang:
digeget bar madhang. Penjelasan: pisang pada umumnya merupakan hidangan selesai
makan. Jadi “digeget” (digigit) setelah makan (bar madhang).
4. Garwa:
sigaraning nyawa. Penjelasan: garwa adalah istri. Sudah tentu istri adalah
belahan jiwa.
5. Krikil: keri
ing sikil. Penjelasan: yaitu batu kecil yang ketika diinjak tanpa sepatu atau
sandal maka akan terasa geli kakinya.
6. Wanita: wani
ing tata atau wani mranata. Penjelasan: perilaku wanita lebih disorot daripada
pria. Jadi wanita harus lebih berani menjaga “tata” atau aturan.
7. Kaji: tekade
mung siji. Penjelasan: orang yang naik haji tentu saja dengan tekad satu,
menjalankan ibadah rukun islam yang kelima.
8. Sruwal: saru
yen nganti uwal. Penjelasan: sruwal adalah celana. Jangan sampai “uwal” atau
lepas. Kan “saru” atau tidak pantas.
9. Tandur: ditata
karo mundur. Penjelasan: kalau kita jalan-jalan ke sawah pada masa tanam padi,
kita melihat bagaimana ibu-ibu di desa menanam padi. Baris berjajar rapi sambil
melangkah mundur setiap satu baris selesai tanam.
10. Tuwa: ngenteni
metune nyawa. Penjelasan: orang yang tua diakatakan orang yang menunggu
keluarnya nyawa.[7]
F. Persamaan Kata
dalam Bahasa Jawa dengan Bahasa yang lain
Pada dasarnya Bahasa Jawa memiliki banyak kesamaan dengan bahasa suku yang
lain seperti bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Palembang. Namun mayoritas
persamaan kata yang ditemukan mirip dengan bahasa Sunda tetapi memiliki makna
yang berbeda. Kesamaan tersebut berupa pengucapan dan penulisannya. Berikut ini
adalah beberapa kata dalam Bahasa Jawa dengan bahasa suku yang lain memiliki
kesamaan penulisan dan pengucapan (homonim), kesamaan pengucapan (homofon),
tetapi memiliki arti yang jauh berbeda.
Kata
|
Arti dalam bahasa Jawa
|
Arti dalam bahasa Sunda
|
Atos
|
Keras (ngoko)
|
Sudah (halus)
|
Cokot/nyokot
|
Gigit (ngoko)
|
Ambil (kasar)
|
Gedhang
|
Buah pisang
|
Buah pepaya
|
Sangu
|
Uang saku/bekal
|
Nasi
|
Urang
|
Udang
|
Aku
|
Amis
|
Bau (anyir)
|
Manis
|
Sare
|
Tidur (halus)
|
Tidur (kasar)
|
Ambu
|
Aroma
|
Ibu
|
Angel
|
Susah (ngoko)
|
Lama
|
Budhal
|
Pergi
|
Bubar/buyar
|
Dhahar
|
Makan (halus)
|
Makan (kasar)
|
Geulis (dengan pengucapan sama dengan Gelis)
|
Cepat
|
Cantik
|
Getek
|
Perahu rakit
|
Geli
|
Kasep
|
Terlanjur
|
Ganteng
|
Awak
|
Badan
|
Badan
|
Dodol
|
Jualan (ngoko)
|
Makanan
|
Sampean
|
Kamu (krama)
|
Kaki
|
Ical
|
Hilang (halus)
|
Jual
|
Adus
|
Mandi
|
Mandi besar
|
Kata
|
Arti dalam bahasa Jawa
|
Arti dalam bahasa Palembang
|
Lawang
|
Pintu
|
Gila
|
Kata
|
Arti dalam bahasa Jawa
|
Arti dalam bahasa Bali
|
Mbok
|
Ibu/ nenek
|
Mbak/ kakak perempuan
|
Kata
|
Arti dalam bahasa Jawa
|
Arti dalam bahasa Melayu
|
Awak
|
Badan
|
Saya
|
G. Bahasa Pujian
dan Bahasa Ejekan
Dalam bahasa jawa jogja-solo, banyak di temui kata-kata ejekan, umpatan (pisuhan) ataupun pujian. Kata-kata ejekan/umpatan ini di pakai ketika seseorang marah, bergurau, atau mengejek temannya. Kata ejekan/umpatan ini tak jarang mengambil nama-nama sesuatu yang ada di sekitar kita.
Contoh:
Bajigur, adalah minuman hangat khas Jawa Barat. Kata ini menjadiØ pisuhan yang sangat Jogja sekali. Merupakan eufemisme dari kata
pisuhan Bajingan.
Cangkemmu, bahasa halus dari Cocote
Cokormu, telapak kakimu.
Gentho, makna aslinya adalah Maling.
Gendheng, makna aslinya adalah gila
Kemplu, biasanya dipasangkan dengan Kere.
Kere, mengatai si obyek pisuhan sebagai orang miskin.
Ndasmu, berarti kepalamu.
Pekok, berarti tolol.
Pethuk, masih berarti tolol.
Selain itu, juga terdapat bahasa pujian. Baik itu pujian untuk sesama masyarakat atau kepada Tuhan, Rasul dan sebagainya. Bahasa pujian yang ditujukan kepada sesama, biasanya berupa kata-kata yang memuji atau mengelu-elukan.
Contoh :
“wah jan, pinter tenan to koe nduk, putrane sopo je!” ,
“ayu tenan putu ku iki!” ,
ganthenge koyo satrio, dsb.
Sedangkan bahasa pujian untuk Tuhan, Rasul atau yang lainnya,
biasanya di kemas dalam syair. Misalnya : di Jejeran Wonokromo Bantul, Sholawat
Nabi untuk melakukan pujian kepada Nabi Suci Muhammad SAW dikemas dalam nuansa
khas Jawa yang dipadukan nuansa arab. Dengan bahasa yang di gunakan dalam
sholawat nabi adalah bahasa jawa halus yang di campur dengan bahasa arab[8].
H. Pemertahanan
Bahasa Jawa
Bahasa
Jawa masih tetap dianggap dan dijadikan norma baku dalam komunikasi (Suyata dan
Suharti, 2007:3). Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk mempertahankan
bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi. Usaha-usaha yang telah dilakukan
pemerintah dan masyarakat dalam rangka pemertahanan eksistensi bahasa Jawa,
antara lain adalah:
1.
upaya penguatan filosofi budaya dan bahasa Jawa,
2.
pengembangan dan peningkatan lomba dan festival
bahasa Jawa.
3.
penyebarluasan dan penanaman nilai budi pekerti
dalam ungkapan-ungkapan bahasa Jawa,
4.
peningkatan dan pengembangan seni pertunjukan Jawa,
5.
menciptakan dan menjaga eksistensi bahasa Jawa
melalui penggunaan bahasa Jawa di lingkungan instansi (kantor, sekolah, lembaga
terkait).
Di samping upaya tersebut, diperlukan
strategi-strategi yang berkelanjutan dalam upaya pemertahanan bahasa Jawa.
Strategi yang ditempuh di antaranya menjadikan bahasa Jawa:
1.
sebagai alat komunikasi,
2.
penyatuan bahasa dan budaya,
3.
kearifan lokal,
4.
kebijakan Pemda,
5.
dunia pendidikan,
6.
kegiatan LSM, dan
7.
Jurnalistik Jawa.
Upaya-upaya yang relevan dengan pemertahanan,
pelestarian, dan pengembangan bahasa Jawa melalui penggalian nilai naskah kuna
dan aneka kegiatan lain, amat penting bagi identitas Yogyakarta sebagai kota
budaya, khusus lewat dunia pendidikan, pemertahanan bahasa Jawa dapat
dikembangkan dengan efektif dan sangat penting. Model-model atau upaya
pemertahanan bahasa Jawa di DIY menunjukkan bahwa bahasa Jawa masih hidup, berkembang
dan secara aktif digunakan oleh pemiliknya[9].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil
kesimpulan bahwa Bahasa Jawa Yogyakarta memiliki beberapa kekhasan lingual.
Kekhasan itu berupa tata bunyi (fonetik), struktur (gramatika), dan kosakata
(leksikon). Kekhasan dialek bahasa Jawa standar ini akan sangat terlihat jika
dikontraskan dengan dialek bahasa Jawa yang lainnya.
Apabila kita lihat dari perbedaan suasana
pemakaiannya, ragam tutur bahasa Jawa
dapat dibagi menjadi ragam formal, ragam informal, dan ragam literer (pustaka).
Ragam formal banyak diapakai dalam bahasa tulis dan bahasa lisan suasana
formal. Ragam informal bentuk bahasanya cenderung kurang lengkap, banyak
pemendekan atau kontraksi kata. Bentuk bahasa ragam literer lebih banyak
menggunakan kosakata klasik dari bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Ragam literer
banyak digunakan dalam bahasa pustaka.
Dalam bahasa Jawa terdapat tingkatannya :
1. Bahasa ngoko
yang terdiri dari ngoko lugu dan ngoko alus, dan
2. Bahasa krama
yang terdiri dari krama lugu dan krama alus.
Ditemukan juga kerata bahasa atau disebut juga
akronim. Dalam kerata basa suku kata depan atau suku belakang bisa dicampur
aduk, yang akronim tersebut memberi makna yang sama bagi sebuah kata.
Bahasa Jawa juga ditemukan kesamaan kata
dengan bahasa dari daerah lain, meskipun lisan dan tulisannya sama, tetapi
biasanya arti dari keduanya tersbut berbeda.
Di zaman modern ini, pemerintah harus turut berupaya dalam mempertahankan
Bahasa Jawa, beberapa upaya yang dilakukan pemerintah antara lain menajdikan
bahasa Jawa sebagai:
1.
sebagai alat komunikasi,
2.
penyatuan bahasa dan budaya,
3.
kearifan lokal,
4.
kebijakan Pemda,
5.
dunia pendidikan,
6.
kegiatan LSM, dan Jurnalistik Jawa.
B.
Saran
Dengan
mempelajari bahasa Jawa diatas, diharapkan kita sebagai mahasiswa khususnya
penutur bahasa Jawa bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar. Dan mahasiswa
bisa turut serta bersama pemerintah mengupayakan pemertahanan bahasa Jawa karna
bahasa Jawa termasuk bahasa yang sangat banyak penuturnya dan tidak tergeser
oleh modernitas yang menjadi salah satu faktor tergesernya bahasa Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Endang N, Mulyana, Hesti M, dan Suwardi. (2013). “Strategi Pemertahanan Bahasa Jawa
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” Jurnal Penelitian Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor 1. 159-166
Muljono, Iwan M. “Memahami Kerata Basa.”
Sentosa, Sedya. 2013. Penguasaan Bahasa
Daerah dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI. Yogyakarta: Mandiri Grafindo
Press
Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa
Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
http://iwanmuljono.blogspot.co.id./2012/06/memahami-kerata-basa.html?m=1 (diakses tanggal 26 Maret 2017)
http://miftasmart-key.blogspot.co.id/2011/04/bahasa-jawa-yogyakarta-tinjauan.html (diakses tanggal 28 Maret 2017)
[1] Wedhawati, dkk.Tata Bahasa Jawa Mutakhi,
(Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2006}, hlm.1-2
[2] Ibid. Hlm. 13
[3] Wedhawati, dkk.Tata Bahasa Jawa
Mutakhi, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2006}, hlm.12
[4]Sedya Sentosa, Penguasaan Bahasa Daerah
dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI, (Yogyakarta: Mandiri Grafindo Press,
2013), hlm. 103-105
[5]Ibid., hlm. 105-107
[6]Iwan M. Muljono, “Memahami Kerata Basa”,
diakses dari http://iwanmuljono.blogspot.co.id./2012/06/memahami-kerata-basa.html?m=1, pada tanggal 26 Maret 2017 pukul 11.17
WIB
[7]Sedya Sentosa, Penguasaan Bahasa Daerah
dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI, (Yogyakarta: Mandiri Grafindo Press,
2013), hlm. 130
[8]
http://miftasmart-key.blogspot.co.id/2011/04/bahasa-jawa-yogyakarta-tinjauan.html (diakses tanggal 28 Maret 2017 pukul 23.44)
[9]
Endang Nurhayati, Mulyana, Hesti Mulyani, dan Suwardi, Strategi
Pemertahanan Bahasa Jawa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor
1, April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar