BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dengan adanya
modernisasi-pembangunan yang dijalankan oleh rezim Orde Baru muncul berbagai
respons dari para ulama dan intelektual Islam Indonesia yang tidak bisa
dilepaskan dari adanya dua teori besar dalam pemikiran hukum
Islam, yang memiliki
paradigma dan cara pandang yang berbeda juga saling bertentangan. Kedua teori
tersebut adalah Teori Keabadian atau Teori Normativitas Hukum Islam dan Teori
Adaptabilitas Hukum Islam. Teori pertama berasumsi dan meyakini bahwa hukum
Islam sebagai hukum yang ditetapkan oleh Tuhan yang tidak mungkin bisa diubah
dan tidak beradaptasi dengan zaman. Sementara teori kedua berasumsi bahwa hukum
Islam sebagai hukum yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan umat manusia yang
bukan saja bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman tetapi juga bisa diubah
untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Dengan berdasarkan teori adaptabilitas hukum kami mencoba mencermati dan
memetakkan berbagai ide pemikiran dari para ulama dan intelektual Islam
sepanjang era 1970 sampai 2000. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami
akan mengkaji tokoh-tokoh hukum Islam (fiqh) beserta pemikiran-pemikirannya
yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pemikiran hukum Islam menurut Hasbi ash-Shiddieqy ?
2.
Bagaimana
pemikiran hukum Islam menurut Hazairin ?
3.
Bagaimana pemikiran hukum Islam menurut
Munawir Sjadzali ?
4.
Bagaimana
pemikiran hukum Islam menurut Masdar F.
Mas’udi ?
5.
Bagaimana pemikiran hukum Islam menurut M. A. Sahal ?
C.
Tujuan
1. Mengetahui dan memahami hukum Islam
menurut Hasbi ash-Shiddieqy
2. Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut Hazairin
3. Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut Munawir Sjadzali
4. Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut Masdar F. Mas’udi
5. Mengetahui dan memahami hukum Islam menurut M. A. Sahal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fiqh Indonesia: Tema Pemikiran Hukum Islam
Hasbi ash-Shiddieqy (1905-1975 M)
1.
Fiqh dengan kepribadian Indonesia
Munculnya
gagasan Fiqh Indonesia oleh Hasbi ash-Shiddieqy, seorang pakar dalam berbagai
studi keislaman, pada sekitar tahun 1940. Melalui tulisan-tulisannya Hasbi
menyatakan pentingnya pengambilan ketetapan fiqh dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan
kebutuhan nusa dan bangsa Indonesia. Menurutnya pemikiran Hukum Islam yang
telah ada terasa tidak relevan dan perlu ditinjau ulang yang sesuai dan dapat
dipraktikkan di Indonesia. Hingga tahun 1948 gagasan Fiqh Indonesia belum atau
bahkan tidak mendapatkkan respon yang memadai (positif) dari masyarakat.
Berangkat dari kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran Fiqh
Indonesia hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya,
hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam
segala cabang dari bidang mu’amalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Ia
harus mampu hadir dan bisa berpartisipasi dalam membentuk gerak langkah
kehidupan masyarakat. Para mujtahid (ulama lokal) dituntut untuk mempunyai
kepekaan terhadap kebaikan (sense of mashlahah) yang tinggi, dan
kreativitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternatif
fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya.
Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif,
melalui sebuah lembaga permanen dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi
ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya, upaya ini akan menghasilkan produk hukum
yang relatif lebih baik dibanding apabila hanya dilakukan oleh perorangan atau
sekumpulan orang dengan keahlian yang sama.
Puncak dari pemikiran ini terjadi pada 1961, ketika dalam satu acara Dies
Natalis IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, ia memberikan makna dan definisi Fiqh
Indonesia secara cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema
“Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman”, Hasbi secara tegas mengatakan :
“Maksud untuk mempelajari syari’at
Islam di universitas-universitas Islam sekarang ini, supaya fiqh atau syari’at
Islam dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri
utama bagi perkembangan hukum-hukum di tanah air kita yang tercinta ini. Maksud
kita supaya dapat menyusun suatu fiqh yang berkepribadian kita sendiri,
sebagaimana sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang berusaha me-Mesir-kan
fiqhnya.
Fiqh Indonesia ialah fiqh yang
ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak
Indonesia.
Fiqh yang berkembang dalam
masyarakat kita sekarang ini sebagiannya adalah fiqh Hijaz, fiqh yang terbentuk
atas dasar adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di Hijaz, atau fiqh Mesir, yaitu
fiqh yang telah terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan Mesir, atau
fiqh Hindi, yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar ‘urf dan adat istiadat yang
berlaku di India.
Selama ini kita belum menunjukkan
kemampuan untuk berijtihad, menunjukkan hukum fiqh yang sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijazi atau
fiqh Iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid.”
Mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat sebagai acuan
pembentukan sebuah format pemikiran hukum Islam baru, dalam amatan Hasbi,
menjadi satu keniscayaan. Syari’at Islam menganut asas persamaan.
Egalitarianisme Islam memandang semua masyarakat adalah sama di hadapan Allah.
Konsekuensinya, semua ‘urf dari setiap masyarakat−tidak hanya ‘urf dari
masyarakat Arab saja−dapat menjadi sumber hukum. Sejalan dengan itu, Islam
datang tidak dimaksudkan untuk menghapus kebudayaan dan juga syari’at agama
yang telah ada, selama ia tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, yaitu
tauhid. Dengan demikian, ‘urf dalam batas-batas tertentu akan selalu dapat
diterima sebagai sumber hukum Islam. Dari titik ini, pembentukan Fiqh Indonesia
harus mempertimbangkan ‘urf yang berkembang di Indonesia.
Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa ide Fiqh Indonesia atau
“fiqh yang berkepribadian Indonesia”, yang berlandaskan pada konsep bahwa hukum
Islam (fiqh) yang diberlakukan untuk umat Islam Indonesia adalah hukum yang
sesuai dan memenuhi kebutuhan mereka, yaitu hukum adat yang telah berkembang
dalam masyarakat Indonesia, yang tidak bertentangan dengan syara’.
2. Metode dan aplikasi pemikiran
Dalam pandangan Hasbi, pemikiran hukum Islam harus berpijak pada prinsip mashlahah
mursalah, keadilan, dan kemanfaatan. Prinsip mashlahah mursalah
mengandaikan bahwa eksistensi sebuah hukum pada dasarnya dimaksudkan untuk
melahirkan kemaslahatan bagi manusia baik level dharurat, hajiyat, maupun
tahsiniyyat.
Beberapa aplikasi pemikiran Hasbi meliputi aspek permasalahan fiqh, baik ibadah,
mu’amalah, munakahat, maupun qada’, mengekspresikan pemikiran fiqh dengan
cita rasa budaya Indonesia. Dari hasil ijtihad Hasbi yang mencerminkan fiqh
Indonesia terlihat dalam fatwa hukum jabat tangan antara laki-laki dan
perempuan. Di sini ia berbeda pendapat dengan Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
dan Ahmad Hassan dari Persis yang mengharamkan praktik jabat tangan antara
laki-laki dan perempuan karena beberapa alasan, diantaranya adalah karena hukum
haram tersebut dilandaskan pada qiyas. Dalam pandangan Hasbi, mengharamkan
sesuatu harus berdasarkan dalil nash yang qath’i, baik dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah yang mengharamkan praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, Hasbi menyadari bahwa praktik berjabat tangan sudah sekian lama
hidup dan menjadi tradisi (‘urf) di masyarakat Indonesia. Dan karena Hasbi
tidak melihat tradisi ini sebagai hal yang berbahaya maka tidak ada alasan
untuk melarangnya.
Kemudian pemikiran Hasbi yaitu mengenai zakat. Hasbi berpendapat bahwa
mesin-mesin produksi yang memang digunakan sebagai alat memprodusir
barang-barang dengan tujuan untuk memperoleh hasil dan keuntungan, sudah barang
tentu dikenakan pungutan zakat juga.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan pengumpulan zakat, hendaklah para pengusaha
mengadakan “badan ‘amaliah” atau “pegawai-pegawai zakat”.
Kata asy-Syirazy : “wajib atas kepala negeri mengadakan badan ‘amaliah
(pengumpul zakat) dan mengutus mereka pergi memungut zakat dan mengumpulkannya
dari yang bersangkutan.”
B. Fiqh Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) : Tema Pemikiran Hukum Islam Hazairin
( 1906-1975 M)
1. Sebuah upaya penyatuan nilai-nilai adat dengan hukum Islam
Masalah besar yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah bagaimana membentuk
satu pemikiran hukum Islam yang sesuai dengan tradisi (adat) yang ada di
wilayah ini. Pandangan seperti ini merupakan proses awal dari keseluruhan cita-cita
untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum
nasional. Kenyataan bahwa selama ini umat Islam hanya mengikuti jalur pemikiran
fiqh madzhab syafi’i, ternyata memberikan pengaruh terhadap karakter pembaruan
dan nasib pemikiran hukum Islam di Indonesia.
Dalam amatan Hazairin bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang
mewartakan bahwa pintu Ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup
bisa dijadikan sebab dan konsiderasi akan perlunya memikirkan konstruk madzhab
baru yang lebih relevan dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya madzhab hukum
Syafi’i harus dikembangkan sehingga mampu menjadi bagi resolusi permasalahan
spesifik masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan pandangan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menginginkan membentuk
fiqih Indonesia dengan cara menggunakan semua hukum madzhab yang telah ada
(Muqaranah Al-Madzahib) sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya,
Hazairin justru menginginkan pembentukan fiqih madzhab nasionalnya ini dengan
titik berangkat dari pengembangan fiqih Madzhab Syafi’i.
Menurut Hazairin, dengan merujuk pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945 maka
sebenarnya tidak perlu lagi terjadi kontradiksi antara sistem hukum adat, hukum
positif dan hukum agama. Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan hukum
baru yang berkontradiksi dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan hukum agama yang
lain, begitu pula sebaliknya.
Bisa dikatakan ide Hazairin merupakan prolifelari (pengembangan) dari
gagasan fiqih madzhab Indonesia oleh Hasbi Ash-Shiddieqy. Titik temu pandangan
keduanya terletak pada entri bahwa hukum adat masyarakat Islam Indonesia harus
digunakan sebagai bahan konsiderasi utama dalam proses pembentukan hukum Islam
di Indonesia. Dalam hal ini, Hazairin berusaha melempangkan pemikiran Hasbi
yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu upaya mempersatupadukan nilai-nilai
yang berasal dari adat maupun hukum Islam ke dalam satu entitas hukum.
2. Metode dan penerapan pemikiran
Dalam amatan Hazairin, fiqh ahl as-sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab
yang bersendikan sistem kekeluargaan patrilineal, dalam suatu masa sejarah,
ketika ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum berkembang.
Hal ini menyebabkan para mujtahid berpandangan sempit, karena belum adanya
perbandingan-perbandingan mengenai berbagai hal terkait masalah hukum, terutama
dalam masalah kewarisan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila dalam
pengimplementasiannya terjadi konflik antara sistem kewarisan yang dihasilkan ahl
as-sunnah dengan sistem kewarisan adat dalam berbagai lingkungan masyarakat
Indonesia.
Hazairin memahami dan mengakui keberadaan fiqh dan juga ushul fiqh sebagai
produk dan metode pemikiran hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan makhluk hidup
selainnya, dan antara manusia dengan segala macam benda. Sebagai hasil
pemikiran, fiqh bisa melahirkan norma (hukum). Sedangkan ushul fiqh sebagai
‘pokok’ dari fiqh adalah spare part yang mampu menggerakkan pemikiran
ijtihâd dengan landasan al-Qur’an, sunnah, ijmâ’, dan qiyas.
Dimensi pemikiran hukum yang selama ini tertuang dalam kitab fiqh, dengan
demikian, senantiasa akan menerima perubahan-perubahan dari segi materi maupun
metode pengembangannya.
Usaha untuk merekonstruksi format fiqh baru, menurut pandangan Hazairin,
dapat dimulai dengan tafsir otentik atas al-Qur’an. Dalam analisis dan hasil
temuan dari studi tentang pemikiran waris Hazairin yang dilakukan oleh Al-Yasa
Abu Bakar, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter sumber-sumber hukum Islam,
yakni sunnah, ijma’, dan qiyas memungkinkan untuk digugat hasil
ketetapan ijtihadnya.
Diantara pemikiran Hazairin yaitu mengenai konsep warisan dan perkawinan.
Menurut Hazairin, konsep hukum Islam yang selama ini berjalan dengan menganut
sistem patrilineal (menarik garis keturunan hanya dari arah laki-laki saja)
sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah (Arab). Hukum kewarisan
dalam al-Qur’an bagi Hazairin, esensinya menganut sistem bilateral, yakni
menarik harta dari pihak ayah dan ibu.
Menurut Hazsirin, agama dan adat bersetolongan, umpamanya dalam hal menolak
perzinahan dan pelacuran, yaitu sama-sama menentang kepada hukum pidana
gubernemen, yang dianggap kurang sempurna dalam hal itu baikpun bagi rakyat
adat maupun bagi rakyat Islam.
C. Reaktualisasi (Kontekstualisasi) Ajaran Islam: Tema Pemikiran Hukum Islam
Munawir Sjadzali (1925-...)
1. Sebuah upaya reinterpretasi doktrin Islam
Gagasan reaktualisasi ajaran dalam hukum Islam, yang pertama kali
ditawarkan oleh Munawir Sjadzali pada 1985, secara faktual berangkat dari berbagai
problem empiris. Munawir menganggap bahwa kaum muslimin sering kali bersikap
ambivalen dalam beragama. Di satu sisi, mereka sebenarnya kurang menyukai
doktrin lama sekalipun tidak berani memodifikasi atau meninggalkannya. Namun di
sisi lain, secara sembunyi-sembunyi mereka mencoba mencari celah aman bagi
persoalan keagamaan yang dihadapinya, dengan sedikit memaksakan kehendak suatu
aturan hukum yang seharusnya dipakai dalam konteks permasalahan lain.
Reaktualisasi sendiri mengandung arti upaya melakukan reinterpretasi
terhadap doktrin Islam yang dalam rentang waktu cukup panjang telah memiliki
validitas sendiri. Sebagai gerak
alami, reaktualisasi harus dilakukan untuk menampung kebutuhan hidup yang terus
berkembang. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum (ushûl al-fiqh) dan
kaidah-kaidah hukum agama (qawâ’id al-fiqh) akan membentengi dan menjaga
agar proses penafsiran kembali (reinterpretasi) yang dilakukan, secara
substansial tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam materi hukum
yang setatusnya ingin ditafsir ulang, dan juga tidak bertentangan dengan maksud
dan tujuan dari kontitum awalnya.
2. Metode dan aplikasi
Munculnya pemikiran reaktualisasi hukum Islam Munawir sebenarnya berangkat
dari beberapa pandangan dasar, yakni: pertama, bahwa pintu ijtihâd
selalu terbuka; kedua, di dalam aI-Qur’ân dan hadits terdapat naskh;
ketiga, hukum Islam bersifat dinamis dan elastis; keempat,
kemaslahatan dan keadilan merupakan tujuan syari’at; dan kelima,
keadilan adalah dasar kemaslahatan.
Arti penting reaktualisasi ajaran Islam yang digagas oleh Munawir terletak
pada penafsirannya tentang masalah kewarisan. Pembahasan masalah ini terangkai
dalam uraian panjangnya mengenai status dan kedudukan perempuan. Dalam
pandangan Munawir, Islam sebenarnya mengajarkan prinsip persamaan antara sesama
manusia, tanpa ada perbedaan derajat atau tingkat yang didasarkan atas
kebangsaan, kesukuan, dan keturunan.
Dengan mengacu pada QS. Al-Hujurât ayat 13, Munawir dengan tegas menyatakan
bahwa menurut Islam kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Mengenai
ayat-ayat al-Qur’ân (QS. al-Baqarah [2]: 228, dan an-Nisa’ [4]: 34) yang secara
vulgar sering dimaknai bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan, dalam
amatan Munawir, ayat-ayat itu tidak bisa dimaknai bahwa perempuan tidak
mempunyai hak sama sekali atas kepemimpinan. Begitu juga salah apabila ayat ini
dipahami bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan membawa akibat bahwa antara
laki-laki dan perempuan tidak terdapat persamaan, baik dalam kedudukan maupun
hak dan kewajiban. Pembagian tugas antara mereka berdua tidak dapat pula
diartikan perbedaan derajat dan tingkat di antara mereka, baik di muka Allah,
di muka hukum, maupun di tengah masyarakat.
D.
Agama Keadilan: Tema Pemikiran Hukum Islam
Masdar F. Mas’udi (1954-...)
1. Sebuah upaya penegakkan kembali cita-cita sosial Islam
Munculnya tema pemikiran Islam Masdar ini ditandai dengan terbitnya buku Agama
Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, pada 1991, yang kemudian
diikuti dengan terbitnya buku kedua yang berjudul Islam dan Hak-Hak
Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan pada 1997. Dalam buku
pertama Masdar coba membangun dan menawarkan garis-garis dasar pemikiran
(paradigma) hukum Islam alternatif yang nantinya dipergunakan dalam membuat
analisis model baru atas berbagai persoalan sosial-keagamaan. Dalam hal ini, permasalahan
zakat menjadi eksperimentasi analisis pertamanya. Sedangkan pada buku kedua,
sebagaimana paradigma pisau analisis yang dipakai dan diintrodusir dalam buku
pertama, Masdar menggunakannya dalam ranah pembahasan hak-hak reproduksi
perempuan.
Titik temu pemikiran-pemikiran Masdar dalam kedua bukunya ini, selain
pilihan paradigmanya sama, kedua buku tersebut juga didominasi pembahasan
tentang kemaslahatan-keadilan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia.
2. Rekonstruksi konsep qath’i zhanni
Pandangan umum mengenai ijtihad yang selama ini berjalan bisa dikatakan
hanya menjangkau sasaran yang bersifat zhanni (teks yang tidak pasti)
dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini sebagai qath’i (teks
yang dianggap pasti). Menurut Masdar, dengan meletakkan maslahah sebagai
asas ijtihad maka konsep lama tentang qath’i-zhanni harus segera
dicarikan rumusan barunya. Disinilah pentingnya rekonstruksi konsep qath’i-zhanni
agar lebih punya tenaga (power) dalam memberikan kontitum pemecahan berbagai
masalah.
Dalam pandangan Masdar, apa yang disebut sebagai dalil qath’i adalah
nilai kemaslahatan keadilan, yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dalil zhanni adalah seluruh ketentuan teks,
ketentuan normatif yang bisa digunakan untuk menerjemahkan qath’i (nilai
kemaslahatan dan keadilan) dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, benar adanya
jika dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah qath’i, dan
hanya bisa dilakukan pada wilayah zhanni. Berdasarkan hal ini maka hukum
potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, presentase jumlah
pembagian waris, monopoli hak talak bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah,
dan ketentuan-ketentuan teknis yang bersifat nonetis, masuk kategori nash
yang zhanni.
3. Masalah zakat (pajak) dan hak-hak reproduksi perempuan
Dalam amatan Masdar, masalah zakat merupakan ajaran pokok Islam. Ajaran
zakat bukan hanya untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk
kemaslahatan dan keadilan semesta, rahmatan lil ‘alamin. Relasi antara
“zakat” sebagai konsep keagamaan (keruhanian), di satu sisi, dan “pajak”
sebagai konsep keduniawian (kelembagaan), di sisi lain, sama sekali bukan
dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis.
Persoalan yang digagas oleh Masdar juga mengenai konsep Islam tentang hak-hak
reproduksi perempuan. Dalam pendangannya, bias gender yang terjadi dalam
penafsiran teks keagamaan, telah memunculkan corak pemahaman yang merugikan
perempuan. Sebuah contoh penafsiran terhadap Q.S. al-Baqarah [2]: 223: Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki. Menurut Masdar, ayat ini
sangat mungkin lebih dimaksudkan sebagai pemberitahuan tentang kesuburan wanita
tentang seks. Akan tetapi, para ulama memahaminya sebagai diktum bahwa wanita
(istri) itu, dalam keadaan apapun harus memenuhi keinginan seksual suami.
Dengan pemahaman seperti ini, suami bisa berbuat bebas sekehendak hatinya tanpa
memerhatikan kepentingan isteri dalam hal yang sama (seks). Jika isteri menolak
ajakan seks suaminya, dikatakan dosa besar, akan tetapi tidak pernah
diungkapkan sebaliknya, dalam arti seorang suami juga akan mendapatkan dosa
yang sama besarnya jika ia menolak kehendak seks isterinya.
E.
Fiqh Sosial: Tema Pemikiran Hukum Islam M.A.
Sahal Mahfudh (1937-...) dan Ali Yafie (1923-...)
1. Sebuah ikhtiar aktualisasi fiqh madzhab (klasik)
Sahal Mahfudh yang mengatakan bahwa sebagai penjabaran syari’ah Islam, Fiqh
Sosial berusaha melakukan penataan terhadap hal ihwal manusia dalam kehidupan
dunia dan akhirat, kehidupan individu dalam bermasyarakat dan bernegara.
Pemikiran yang mengindikasikan adanya optimisme dan pesimisme ketika hendak
mengimplementasikan fiqh tradisional secara. Rasa optimisme muncul karena
secara teoretis dimensi ajaran yang ditawarkan oleh khasanah literatur klasik
cukup komprehensif, sedangkan rasa pesimisme itu ada karena ajarannya dinilai
banyak yang anakronistik (ketinggalan zaman). Sehingga wajar jika wacana Fiqh
Sosial dipahami sebagai upaya hukum fiqh tradisional dalam konteks transformasi
sosial, sebuah ikhtiar tentang bagaimana mengaplikasikan dan mengharmonikan
ajaran-ajaran fiqh dengan persoalan-persoalan yang muncul dan berkembang.
Wacana Fiqh Sosial telah dimulai sejak timbulnya pertentangan seputar
“nasib” fiqh klasik (fiqh mazhab). Fiqh “difitnah” sebagai sumber segala
kemujudan yang terjadi di dunia Islam, karenanya perlu diubah atau
dekonstruksi. Kritik tajam ini bahkan merambah pada wilayah ushul al-fiqh
dan qawaid ql-fiqhiyyah-nya, yang dianggap kaku, sempit, dan tidak
adaptable. Berangkat dari sini, Sahal Mahfudh dan Ali Yafie, sebagai
representasi dari masyarakat tradisionalis mencoba merespon kritik tajam
tersebut dengan melakukan advokasi terhadap fiqh klasik. Langkah ini kemudian
dilanjutkan dengan memparalelkan munculnya wacana Fiqh Sosial secara formal
dengan diiringi terbitnya dua buku yang berjudul Wacana Fiqh Sosial
karya Ali Yafie dan Nuansa Fiqh Sosial karya M. A. Sahal Mahfudh pada
tahun 1994.
2. Dari tekstualis terbatas ke kontekstualis
Metode penetapan hukum atau istinbath al-hukm merupakan spare
part yang paling penting dan berpengaruh pada produk hukum yang dihasilkan.
Dalam Bahts al-Masail NU, istilah istinbath hukum tidak banyak
dikenal, sebab ia cenderung berkonotasi istihkraj al-hukm min an-nushush
(mengeluarkan hukum dari nash-nash primer, al-Qur’an dan hadits), yang
hanya bisa dilakukan oleh mujtahid mutlak. Di dalam perspektif Bahts
al-Masail, penggunaan istilah istinbath al-hukm menjadi
dipertanyakan tingkat akurasinya. Oleh karena itu, dalam banyak keputusan
hukum, yang dicantumkan sebagai dasar adalah pendapat (qaul) ulama mujtahid
yang dipandang credible dari ranah kitab yang mu’tabar (diakui
kesahihannya).
3. Fiqh dan etika sosial
Salah satu pemikiran Sahal Mahfudh adalah tentang pajak. Sahal Mahfudh
menyatakan bahwa dalam prosesnya masyarakat sering tidak tahu ke mana larinya
uang pajak itu. Dengan pernyataan ini, sebenarnya ia sedang mengutarakan soal pentingnya
kontrol dan partisipasi masyarakat secara penuh dalam proses bernegara.
Kemudian pemikiran Sahal Mahfudh dan Ali Yafie adalah konsep maslahah.
Konsep ini mengenai proses pelaksanaan pemerintah apakah betentangan dengan
fiqh atau tidak, digunakan sejumlah kaidah fiqh sebagai tolak ukurnya, seperti
“kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kesejahteraan dan kemaslahatan
rakyat”. Namun bagaimana cara mengukur dan merumuskan makna maslahah yang tepat
? Di sinilah konsep mashalah Sahal Mahfudh dan Ali Yafie timbul.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Hasbi
ash-Shiddieqy hukum Islam di Indonesia haruslah sesuai dengan adat atau
kepribadian di Indonesia, kemudian Hazairin berpandangan bahwa hukum Islam
Indonesia yang sudah menganut Mazhab Syafi’i seharusnya mengalami perkembangan.
Sedangkan Munawir Sjazali membahas mengenai warisan, Masdar F. Mas’udi memiliki
pandangan mengenai keadilan seperti tentang zakat dan hak-hak reproduksi
perempuan, serta Sahal Mahfudh dan Ali Yafie yang berpandangan Fiqh Sosial.
B.
Saran
Dari pembahasan di atas kami mengharapkan hukum-hukum di Indonesia selalu
mengalami perkembangan. Namun tidak lupa hukum-hukum yang sudah ada pun harus
berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Mahsun. 2005. Hukum
Islam Indonesia. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1987. Pedoman Zakat.
Jakarta: Bulan Bintang
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1969. Zakat: Sebagai Salah Satu
Unsur Pembina Masyarakat
Sejahtera. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Hazairin. 1976. Hendak Kemana Hukum Islam.
Jakarta: Tintamas Indonesia
Hazairin. 1950. Hukum Baru Indonesia. Jakarta:
Bulan Bintang