Jumat, 26 Mei 2017

Contoh Makalah Sosiolinguistik Bahasa Jawa


BAHASA JAWA
YOGYAKARTA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu : Dr. Sembodo Ardi Widodo, S.Ag., M.Ag.
Disusun oleh :
Muhammad Taufan        15420 055
Adelina Fatnin                15420110
Asmak Anisah                15420113

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun untuk menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 28 Maret 2017


Penulis            



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
A.    PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1
b.      Rumusan Masalah............................................................................................ 2
c.       Tujuan.............................................................................................................. 2
B.     PEMBAHASAN
a.       Sejarah Bahasa Jawa....................................................................................... 3
b.      Dialek Bahasa Jawa Standar .......................................................................... 4
c.       Ragam Tutur.................................................................................................... 8
d.      Tingkatan Bahasa Jawa................................................................................... 8
e.       Kerata Basa................................................................................................... 11
f.        Persamaan Kata dalam Bahasa Jawa dengan bahasa yang lain..................... 12
g.      Bahasa Pujian dan Bahasa Ejekan................................................................. 13
h.      Pemertahanan Bahasa Jawa........................................................................... 15
C.     PENUTUP
a.       Kesimpulan.................................................................................................... 16
b.      Saran ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 19




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa, ada di dalamnya. Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini semakin beragam. Setiap suku, pasti memiliki bahasa tersendiri, sebut saja suku Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak, itu hanya sebagian kecil saja. Menarik perhatian adalah tentang bahasa Jawa. Bahasa Jawa termasuk salah satu bahasa yang sudah kita kenal dan sudah kita gunakan sedari kita kecil. Sadar atau tidak, bahasa krama Jawa ternyata sangat mempengaruhi kita. Diantara semua orang yang berada di Jawa, sebagian besar dari mereka pasti mengajarkan bahasa krama kepada anak-anaknya semenjak lahir.
Bahasa Jawa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.Dari segi kuantitas, pemakai bahasa jawa lebih dari 150.000.000 jiwa dan tinggal dimana-mana. Daerah pemakaian tersebut membentang dari perbatasan Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, sampai Jawa Timur. Dengan demikian bahasa Jawa juga memiliki dialek yang tidak sedikit jumlahnya, misalnya dialek pesisir Utara Jawa Tengah, dialek Banyumasan, dialek Banyuwangi, dialek Surabaya, dan dialek Jogjakarta.
Bahasa Jawa dengan penutur yang sangat besar ini, belum seluruhnya dari mereka menggunakannya dengan baik dan benar. Masyarakat Jawa mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk mengembangkan bahasa Jawa, tetapi sering terhalang oleh komunikasi modern yang jauh dari bahasa Jawa. Seiring berjalannya waktu, ada pergeseran pemakaian bahasa Jawa terutama di wilayah Yogyakarta yang tentunya cukup banyak faktor yang mempengaruhi pergeseran ini. Oleh karena itu, pemerintah harus turut berupaya mempertahankan bahasa Jawa khususnya di Yogyakata dengan memberikan strategi-strategi agar tidak tergeser oleh modernitas.





B.     Rumusan Masalah
Rmusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana sejarah Bahasa Jawa?
2.      Bagaimana dialek dalam Bahasa Jawa?
3.      Bagaiman ragam tutur dalam Bahasa Jawa?
4.      Bagaimana tingkatan dalam Bahasa Jawa?
5.      Bagaimana cara melestarikan Bahasa Jawa?
C.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini sebagai berikut.
1.      Mengetahui dan memahami sejarah Bahasa Jawa
2.      Mengetahui dan memahami dialek dalam Bahasa Jawa
3.      Mengetahui dan memahami ragam tutur dalam Bahasa Jawa
4.      Mengetahui dan memahami tingkatan dalam Bahasa Jawa
5.      Mengetahui dan memahami bagaimana cara melestarikan Bahasa Jawa



BAB II
ISI
A.    Sejarah Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa pertama penduduk Jawa yang tinggal di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, daerah-daerah transmigrasi di Indonesia, di antaranya sekitar Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan beberapa tempat di luar negeri, yaitu Suriname, Belanda, New Caledonia, dan Pantai Barat Johor. Jumlah penuturnya sekarang 75,5 juta. Di dunia terdapat 6.703 bahasa. Bahasa Jawa menempati urutan ke-11 dalam hal jumlah penutur terbanyak.
Bahasa Jawa secara diakronis berkembang dari Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno berkembang dari bahasa Jawa Kuno Purba.  Bahasa Jawa atau disebut Bahasa Jawa Baru/Modern dipakai oleh masyarakat Jawa sejak sekitar abad 16 sampai sekarang. Berkembangnya Bahasa Jawa Baru bersamaan dengan beralihnya kebudayaan Hindu-Budha-Jawa kekebudayaan Islam-Jawa. Bahasa Jawa Baru, yang banyak mendapat pengaruh kosa kata bahasa Arab, dipakai sebagai wahana baik lisan maupun tertulis dalam suasana kebudayaan Islam-Jawa.  Dalam suasana itu ragam tulis bahasa Jawa tidak hanya ditulis dengan huruf Jawa dan Latin saja, tetapi juga ditulis dengan huruf Arab. Huruf Arab dipakai dan disesuaikan dengan system bahasa Jawa dan diubah menjadi huruf Pegon[1].
Bahasa Jawa Kuno dipakai oleh masyarakat Jawa sejak abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-15. Mulai abad pertama sampai dengan keenam,   Bahasa Jawa Kuno hanya dipakai secara lisan.  Bahasa jawa Kuno banyak mendapat pengaruh tambahan kosakata Sansekerta. Jumlah kosakata dari bahasa Sansekerta mencapai 45% dari keseluruhan kosakata bahasa Jawa Kuno yang  ada. Bahasa Jawa Kuno dipakai sebagai wahana baik lisan maupun tulisan dalam suasana kebudayaan Hindu-Budha-Jawa sejak abad ke-7 sampai dengan abad ke-15. Huruf yang dipakai mula-mula ialah Pallawa kemudian diciptakan huruf Jawa Kuno. Pemakaian Bahasa Jawa Kuno tertua tertulis ialah pada Prasasti Sukabumi berangka tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi).Karya sastra yang paling awal disadur dalam bahasa Jawa Kuno dengan huruf Jawa Kuno pada abad ke-19 ialah Ramayana dan Mahabarata berasal dari India.

B.     Dialek Bahasa Jawa Standar

Bahasa Jawa dialek standar mencakupi daerah Yogya dan Solo. Oleh karena itu, sering disebut dialek Yogya-Solo. Dialek standar ini dengan berbagai perubahan isolek, juga digunakan di daerah sekitar Yogyakarta, seperti Purworejo, Magelang, Temanggung, dan beberapa kabupaten di sekitar Surakarta, seperti Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri. Sebagai dialek dengan pemakaian di tengah, dialek standar memiliki dua wilayah antara atau wilayah peralihan.Wilayah peralihan bagian timur berada di sekitar Pacitan, Madiun, dan Grobogan; wilayah peralihan bagian barat berada di sekitar Prembun, Wonosobo, dan Banjarnegara[2].
Bahasa Jawa dialek standar memperlihatkan beberapa kekhasan lingual. Kekhasan itu berupa tata bunyi (fonetik), struktur (gramatika), dan kosakata (leksikon).
a.       Kekhasan Tata Bunyi (fonetik) Dialek Standar
Dialek standar memiliki enam fonem vocal dan dua puluh tiga fonem konsonan.Sebagai satu dialek,  fonem dialek standar memperlihatkan kekhassan jika dikontraskan dengan dialek yang lain. Kekhasan fonem itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekhasan fonem vocal dan fonem konsonan.
·         Kekhasan fonem vocal
Kekhasan fonem vocal yang dimiliki dialek standar, yaitu di antaranya sebagai berikut:
a)      Fonem /i/
Fonem /i/ yang berposisi pada suku ultima (sukuakhir) tertutup diucapkan [I], tetapi pada dialek lain diucapkan [i] (pada dialek Banyumas) atau  [ä] ( pada dialek Pesisir Utara-Tengah).
b)      Fonem /u/
Fonem /u/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [U], tetapi pada dialek lain diucapkan [u] (pada dialek Banyumas) atau [Í»] pada dialek Pesisir Utara-Tengah).
c)      Fonem /a/
Fonem /a/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [a], sedangkan yang berposisi pada suku ultima terbuka diucapkan [É‘]. Pada dialek lain, fonem /a/ diucapkan (1) [a] pada dialek Banyumas, baik pada posisi ultima maupun pada posisi penultima dan (2) [É‘] pada dialek Pesisir Utara-tengah, baik pada posisi ultima maupun pada posisi penultima.
Kekhasan fonem vokal dialek standar seperti disebutkan pada butir (a)-(c) dapat dilihat pada beberapa contoh berikut:

Fonem Ortografi                               Fonetik                                               Glos
                                    Dialek             Dialek              Dialek Pesisir
Standar          Banyumas      Utara-Tengah
/i/         getih                [ghÓ™tɪh]            [ghÓ™tih]            [ghÓ™tÔ‘h]                        ‘darah’
/u/        abuh                [abhUh]           [abhUh]           [abhUh]                       ‘bengkak’
/a/        lenga               [lәŋͻ]               [lәŋͻˀ]              [lәŋͻ]                           ‘minyak’



b.      Kekhasan Fonem Konsonan
Kekhasan fonem konsonan yang dimiliki dialek standar di antaranya terlihat pada fonem /p/,/t/,/k/,/Ë€/ jika dikontraskan dengan dialek banyumas dan fonem /w/, /m/, /h/ jika dikontraskan dengan dialek Jawa Timur.
(a)   Fonem /p/ yang berposisi pada akhir kata diucapkan [b] pada dialek Banyumas.
(b)   Fonem /k/ yang berposisi pada akhir kata diucapkan [g] pada dialek Banyumas
(c)   Fonem /Ë€/ yang berposisi pada akhir kata diucapkan [k] pada dialek Banyumas.
(d)   Fonem /t/ yang berposisi pada pada akhir kata diucapkan [d] pada dialek Banyumas
(e)   Fonem /w/ yang berposisi pada akhir kata diucapkan [wh] pada dialek Jawa Timur
(f)    Fonem /m/ yang berposisi pada awal kata diucapkan [mb] pada dialek Jawa Timur
(g)   Fonem /h/ yang berposisi pada akhir kata menjadi lesap pada dialek Jawa Timur.

Fonem Ortografi                               Fonetik                                               Glos
                                                Dialek             Dialek              
Standar          Banyumas     
            /p/        sebab                          [sÓ™bhap]           [sÓ™bhab]                                   ‘sebab’
            /k/        godhog                        [gÍ»dhÍ»k]          [gÍ»dhÍ»k]                                  ‘rebus’
            /Ë€/         pundhak                      [pundhaË€]         [pundhak]                                ‘bahu’
            /t/         lemut                           [lÓ™mut]             [lÓ™mut]                                     ‘nyamuk’
            /w/       wolu                            [wÉ”lu]              [whÉ”lu]                                    ‘delapan’
            /m/       mlayu                          [mlayu]            [mblayu]                                  ‘lari’
            /h/        ambah                          [ambhah]          [ambha]                                    ‘jelajah’

c.       Kekhasan Gramatikal Dialek Standar
Bahasa Jawa dialek standar memiliki prefiks, sufiks, dan konfiks. Dalam kaitannya dengan pemetaan dialek, beberapa afiks itu memeperlihatkan kekontrasan jika dibandingkan dengan dialek lain. Hal itu dapat dilihat pada uaraian berikut.
Prefiks dalam dialek standar meliputi {pa-, paN-, pi-, pra-, pri-, sa-/se-, ka-/ke-, mer-, N-, tak-, kok-, di-, kuma-, kapi-, mi-}. Prefiks yang menunjukkan kontras dengan dialek lain adalah {tak-/dak-, kok-}. Contoh bentuk kontras itu dapat dilihat berikut ini.


Afiks                                                   Fonetik                                               Glos
                                    Dialek             Dialek                         Dialek Pesisir
Standar          Banyumas                  Utara-Tengah
{tak-/dak-}      [ta?/dʰa?tuku]  [tÉ™ktuku]                     [ta?tuku]                      ‘kubeli’
{kok-}             [kÉ™?tuÓ€Un]      [ditʰulunÓ€ kowÉ›]          [mÍ»?/mbʰͻ?tulun]        ‘kau tolong’
Infiks dalam dialek standar berjumlah dua buah, yaitu {-in-} dan {-um-/-em-}. Infiks itu tidak memperlihatkan perbedaan dengan dialek lain.
Sufiks dalam dialek standar, yaitu {-an, -ku, -mu, -é/-né, -a, -i, -(a)ké, -en, -na, -ana}. Satuan ukuran jumlah, yaitu {-iji, -las/-welas, -puluh/-jinah, -likur, -atus, -èwu, -yuta, kaping/ping}. Sufiks yang menunjukkan kontras dengan dialek lain adalah {-(a)ké, -na, -mu}. Contoh bentuk kontras itu dapat dilihat berikut ini.
Afiks                                                   Fonetik                                               Glos
                                    Dialek             Dialek                         Dialek Pesisir
Standar          Banyumas                  Utara-Tengah
[-(a)ké][gʰambʰar(a)ke]            [gʰambʰar(a)kÉ™]           [gʰambʰar(a)ke             ‘gambarkan’
[-na]    [tulisnÍ»]                       [tulisna?, tuliskÉ™n]       [tulisnÍ»]                       ‘tuliskan’
[-mu]   [ibʰumu]                      [ibʰune kowÉ›]              [ibuÉ™m]                        ‘ibumu’
Konfiks dalam Bahasa Jawa, yaitu {paN-/-an, pi-/-an, ka-/-an, pra-/-an, N-/-i, N-/-a, N-/-an, mi-/-i, tak-/-(a)ké/né, tak-/-i, kok-/-(a)ké, kok-/-i, di-/(a)ké, di-/-i, di-/-ana, ke-/-a, ka-/-ana, ka-/-ana, ka-/-(a)ké, ka-/-an, ke-/-en, kami-/-en, in-/-an, -in-/-(a)ké, -in/-ana, -in/--na, -in-/-é, sa-/-é}. Kekontrasan yang menunjukkan kebersisteman pada prefiks dan sufiks juga berlaku pada konfiks. Sebagai contoh sufiks {-(a)ké} pada dialek standar yang bervariasi dengan {-(a)ken} pada dialek Banyumas berlaku juga pada konfiks, misalnya konfiks {di-(a)ké} dialek standar bervariasi dengan {di/-(a)ken} pada dialek Banyumas.

Afiks                                                   Fonetik                                               Glos
                        Dialek                         Dialek             Dialek Pesisir
Standar                      Banyumas      Utara-Tengah
{tak-/-(a)ké}    [ta?bʰalÉ›?ake]  [tÉ™?bʰalÉ›?akÉ™n]            [takbʰalekake] ‘kukembalikan’
{kok-/-na}       [kÍ»?dʰɛlÉ›hnÍ»]  [dʰidʰɛlÉ›hkÉ™n               [kÍ»kdʰɛlÉ›hnÍ»]  ‘kau letakkan’
marinkowÉ›]

C.    Ragam Tutur
Ragam tutur adalah variasi pemakaian bahasa menurut perbedaan suasana. Berdasarkan perbedaan suasana pemakaiannya,  ragam tutur bahasa Jawa dapat dibagi menjadi ragam formal, ragam informal, dan ragam literer (pustaka). Perbedaan bentuk di antara ketiga ragam itu cukup jelas. Bentuk bahasa ragam formal cenderung lebih lengkap sesuai dengan tata bahasa Jawa baku. Ragam formal banyak diapakai dalam bahasa tulis dan bahasa lisan suasana formal. Ragam informal bentuk bahasanya cenderung kurang lengkap, banyak pemendekan atau kontraksi kata. Yang dipentingkan oleh penutur pada ragam informal ialah asal pesannya sampai pada mitra bicara. Ragam informal banyak dipakai dalam bahasa lisan. Bentuk bahasa ragam literer lebih banyak menggunakan kosakata klasik dari bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Ragam literer banyak digunakan dalam bahasa pustaka[3].
Berikut contoh pemakaian kosakata ragam formal, informal, dan literer.

Ragam Formal
Ragam Informal
RagamLiterer
Arti
Sedya
Seja
Sedya
“tujuan, maksud”
Ikiwae
Kiwé
-           
‘inisaja’
Mengkodhisik
Ngkosik
-           
‘nantidulu’
Sampéyan
Samang
-           
‘engkau’

D.    Tingkatan Bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa terdapat dua tingkat tutur, yaitu Basa Ngoko dan Basa Krama.
1.      Bahasa Ngoko
Yang dinamakan dengan basa Ngoko yaitu wujud dari tata krama dalam berbahasa Jawa yang menggunakan kata ngoko. Terdapat awalan, sisipan di tengah pada kata ngoko yaitu: di-, -e, dan , ake. Bahasa Ngoko ini digunakan untuk berbicara antara orang tua kepada orang muda atau orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah. Bahasa Ngoko juga digunakan kepada orang yang lebih dekat. Bahasa Ngoko ini terbagi menjadi dua, yaitu Ngoko Lugu dan Ngoko Alus.
a)      Ngoko Lugu
Ngoko Lugu yaitu wujud dari tata krama berbahasa Jawa yang semua katanya menggunakan kata ngoko, tidak menggunakan kata krama lugu maupun krama alus. Kata-kata ngoko digunakan untuk berbicara kepada orang pertama atau orang yang berbicara (O1), orang kedua atau orang yang diajak bicara (O2), dan orang ketiga atau orang yang dibicarakan (O3). Contoh atau tuladanipun:
                                                  i.            Aku wis mangan. (O1)
                                                ii.            Kowe wis mangan? (O2)
                                              iii.            Dheweke wis mangan. (O3)
Contoh yang menggunakan awalan, sisipan, atau akhiran dalam kalimat di awah ini.
                                                  i.            Saiki Dhusun Ponggok wis ngrasakkepadhange lampu listrik.
                                                ii.            Bukune wis diwaca adhiku wingi sore.
                                              iii.            Kanca-kancaku wis padha mulih kabeh.
b)      Ngoko Alus
Ngoko Alus yaitu wujud dari tata krama berbahasa Jawa kata-katanya tidak hanya menggunakan kata ngoko tetapi juga menggunakan kata krama  maupun krama alus. Namun, penggunaan kata krama atau krama alus tersebut digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara (O1) atau orang yang dibicarakan (O3). Contoh:
                                             i.             Dhuwite mau wis diasta apa durung, Mas?
                                           ii.            Sing ireng manis kae garwane Pak Rahmat.
                                         iii.             Kae simbah kakung lagi sare ing kamar.
Contoh di atas meskipun menggunakan kata krama, krama lugu, maupun krama inggil tetapi kalimat tersebut dinamakan krama alus. Tambahan yang digunakan dalam krama alus (yang melekat pada kata krama lugu atau krama inggil) masih sama seperti bahasa Ngoko, yaitu di-, -e, -ake, dan –ne. Pada contoh pertama di atas, “Dhuwite mau wis diasta apa durung, Mas?”. Pada kalimat tersebut yang diajak bicara (Mas) lebih tua sehingga menggunakan krama alus yaitu asta.[4]
2.      Bahasa Krama
Basa Krama yaitu wujud dari tata krama dalam berbahasa Jawa yang menggunakan kata krama dalam berbicara. Tambahan yang digunakan dalam bahasa Krama, yaitu dipun, -ipun, dan –aken. Bahasa Krama digunakan oleh orang muda kepada orang yang lebih tua atau orang yang kedudukannya lebih rendah kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi. Bahasa Krama dibagi menjadi tiga, yaitu Krama Lugu dan Krama Alus.
a)      Krama Lugu
Krama lugu disebut juga krama madya. Kata-kata yang digunakan dalam kalimat dapat berupa kata krama dicampur ngoko, madya, krama, maupun krama alus. Pada umumnya pada krama lugu menggunakan kata-kata krama, madya, sedangkan kata krama inggil atau krama andhap digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara. Contoh:
                                       i.                  Sakniki nek mboten main plesetan, tiyang sami kesed nonton kethoprak.
                                    ii.                  Mangga Yu, niku nyamikane ditedha, ampun dikendelke mawon.
Tambahan pada krama lugu terbentuk dari tambahan ngoko, sedangakan kata-kata kramanya banyak dipecah. Kata-kata krama alus pada kalimat digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara. Tambahan pada bahasa krama ini menggunakan tambahan ngoko. Tambahannya berupa di-, -ake, juga mang. Contoh:
                                            i.            Mas, tulung gawan kula niki mangandhapake riyin.
                                          ii.            Bank BRI niku mboten saged nglintoni arta dolar.
b)      Krama Alus
Krama Alus yaitu wujud dari tata krama dalam berbahasa Jawa yang semua kata-katanya menggunakan bahasa krama maupun krama inggil. Tambahan yang digunakan dalam ragam krama yaitu dipun-, -ipun, dan –aken. Kata-kata krama madya dan juga ngoko tidak dapat digunakan dalam ragam krama alus ini. Penggunaan kata-kata krama inggil untuk menghormati orang yang diajak bicara. Contoh:
                                           i.               Tembung-tembung punika anggen kula nglempakaken piyambak saking buku.
                                         ii.              Sarana pitulunganipun Gusti Allah, Nabi Musa saged wilujeng.[5]

E.     Kerata Basa
Dalam bahasa Jawa “kerata” berarti memahami asal usul, dalam hal ini asal usul bahasa, ditinjau dari suku katanya. Kerata basa disebut juga akronim. Dalam kerata basa suku kata depan atau suku belakang bisa dicampur aduk, yang akronim tersebut memberi makna yang sama bagi sebuah kata. Kerata basa juga disebut “jarwa dhosok” (Jarwa: penjelasan; Dhosok: salah satu artinya adalah menyatukan. Dengan demikian “jarwa dhosok” kurang lebihnya diartikan: Penjelasan dari sebuah kata (dari penyatuan suku kata).[6] Contoh:
1.      Brekat: Mak brek diangkat. Penjelasan: dalam acara selamatan, setelah selesai biasanya yang hadir, pada umumnya duduk lesehan, diberi berkatan makanan, kue, buah-buahan, dll. Diletakkan di depan kita “breg” dan waktu pulang tentu saja akan di “angkat”.
2.      Guru:  digugu lan ditiru. Penjelasan: orang yang disebut sebagai guru, semua sikap dan ucapan nya dapat menjadi teladan.
3.      Gedhang: digeget bar madhang. Penjelasan: pisang pada umumnya merupakan hidangan selesai makan. Jadi “digeget” (digigit) setelah makan (bar madhang).
4.      Garwa: sigaraning nyawa. Penjelasan: garwa adalah istri. Sudah tentu istri adalah belahan jiwa.
5.      Krikil: keri ing sikil. Penjelasan: yaitu batu kecil yang ketika diinjak tanpa sepatu atau sandal maka akan terasa geli kakinya.
6.      Wanita: wani ing tata atau wani mranata. Penjelasan: perilaku wanita lebih disorot daripada pria. Jadi wanita harus lebih berani menjaga “tata” atau aturan.
7.      Kaji: tekade mung siji. Penjelasan: orang yang naik haji tentu saja dengan tekad satu, menjalankan ibadah rukun islam yang kelima.
8.      Sruwal: saru yen nganti uwal. Penjelasan: sruwal adalah celana. Jangan sampai “uwal” atau lepas. Kan “saru” atau tidak pantas.
9.      Tandur: ditata karo mundur. Penjelasan: kalau kita jalan-jalan ke sawah pada masa tanam padi, kita melihat bagaimana ibu-ibu di desa menanam padi. Baris berjajar rapi sambil melangkah mundur setiap satu baris selesai tanam.
10.  Tuwa: ngenteni metune nyawa. Penjelasan: orang yang tua diakatakan orang yang menunggu keluarnya nyawa.[7]

F.     Persamaan Kata dalam Bahasa Jawa dengan Bahasa yang lain
Pada dasarnya Bahasa Jawa memiliki banyak kesamaan dengan bahasa suku yang lain seperti bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Palembang. Namun mayoritas persamaan kata yang ditemukan mirip dengan bahasa Sunda tetapi memiliki makna yang berbeda. Kesamaan tersebut berupa pengucapan dan penulisannya. Berikut ini adalah beberapa kata dalam Bahasa Jawa dengan bahasa suku yang lain memiliki kesamaan penulisan dan pengucapan (homonim), kesamaan pengucapan (homofon), tetapi memiliki arti yang jauh berbeda.
Kata
Arti dalam bahasa Jawa
Arti dalam bahasa Sunda
Atos
Keras (ngoko)
Sudah (halus)
Cokot/nyokot
Gigit (ngoko)
Ambil (kasar)
Gedhang
Buah pisang
Buah pepaya
Sangu
Uang saku/bekal
Nasi
Urang
Udang
Aku
Amis
Bau (anyir)
Manis
Sare
Tidur (halus)
Tidur (kasar)
Ambu
Aroma
Ibu
Angel
Susah (ngoko)
Lama
Budhal
Pergi
Bubar/buyar
Dhahar
Makan (halus)
Makan (kasar)
Geulis (dengan pengucapan sama dengan Gelis)
Cepat
Cantik
Getek
Perahu rakit
Geli
Kasep
Terlanjur
Ganteng
Awak
Badan
Badan
Dodol
Jualan (ngoko)
Makanan
Sampean
Kamu (krama)
Kaki
Ical
Hilang (halus)
Jual
Adus
Mandi
Mandi besar

Kata
Arti dalam bahasa Jawa
Arti dalam bahasa Palembang
Lawang
Pintu
Gila

Kata
Arti dalam bahasa Jawa
Arti dalam bahasa Bali
Mbok
Ibu/ nenek
Mbak/ kakak perempuan

Kata
Arti dalam bahasa Jawa
Arti dalam bahasa Melayu
Awak
Badan
Saya

G.    Bahasa Pujian dan Bahasa Ejekan

Dalam bahasa jawa jogja-solo, banyak di temui kata-kata ejekan, umpatan (pisuhan) ataupun pujian.
Kata-kata ejekan/umpatan ini di pakai ketika seseorang marah, bergurau, atau mengejek temannya. Kata ejekan/umpatan ini tak jarang mengambil nama-nama sesuatu yang ada di sekitar kita.
Contoh:
Bajigur, adalah minuman hangat khas Jawa Barat. Kata ini menjadiØ pisuhan yang sangat Jogja sekali. Merupakan eufemisme dari kata pisuhan Bajingan.
Cangkemmu, bahasa halus dari Cocote
Cokormu, telapak kakimu.
Gentho, makna aslinya adalah Maling.
Gendheng, makna aslinya adalah gila
Kemplu, biasanya dipasangkan dengan Kere.
Kere, mengatai si obyek pisuhan sebagai orang miskin.
Ndasmu, berarti kepalamu.
Pekok, berarti tolol.
Pethuk, masih berarti tolol.

Selain itu, juga terdapat bahasa pujian. Baik itu pujian untuk sesama masyarakat atau kepada Tuhan, Rasul dan sebagainya. Bahasa pujian yang ditujukan kepada sesama, biasanya berupa kata-kata yang memuji atau mengelu-elukan.
Contoh :
“wah jan, pinter tenan to koe nduk, putrane sopo je!” ,
 “ayu tenan putu ku iki!” ,
ganthenge koyo satrio, dsb.
Sedangkan bahasa pujian untuk Tuhan, Rasul atau yang lainnya, biasanya di kemas dalam syair. Misalnya : di Jejeran Wonokromo Bantul, Sholawat Nabi untuk melakukan pujian kepada Nabi Suci Muhammad SAW dikemas dalam nuansa khas Jawa yang dipadukan nuansa arab. Dengan bahasa yang di gunakan dalam sholawat nabi adalah bahasa jawa halus yang di campur dengan bahasa arab[8].

H.    Pemertahanan Bahasa Jawa
Bahasa Jawa masih tetap dianggap dan dijadikan norma baku dalam komunikasi (Suyata dan Suharti, 2007:3). Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk mempertahankan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi. Usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam rangka pemertahanan eksistensi bahasa Jawa, antara lain adalah:
1.      upaya penguatan filosofi budaya dan bahasa Jawa,
2.      pengembangan dan peningkatan lomba dan festival bahasa Jawa.
3.      penyebarluasan dan penanaman nilai budi pekerti dalam ungkapan-ungkapan bahasa Jawa,
4.      peningkatan dan pengembangan seni pertunjukan Jawa,
5.      menciptakan dan menjaga eksistensi bahasa Jawa melalui penggunaan bahasa Jawa di lingkungan instansi (kantor, sekolah, lembaga terkait).
Di samping upaya tersebut, diperlukan strategi-strategi yang berkelanjutan dalam upaya pemertahanan bahasa Jawa. Strategi yang ditempuh di antaranya menjadikan bahasa Jawa:
1.      sebagai alat komunikasi,
2.      penyatuan bahasa dan budaya,
3.      kearifan lokal,
4.      kebijakan Pemda,
5.      dunia pendidikan,
6.      kegiatan LSM, dan
7.      Jurnalistik Jawa.
Upaya-upaya yang relevan dengan pemertahanan, pelestarian, dan pengembangan bahasa Jawa melalui penggalian nilai naskah kuna dan aneka kegiatan lain, amat penting bagi identitas Yogyakarta sebagai kota budaya, khusus lewat dunia pendidikan, pemertahanan bahasa Jawa dapat dikembangkan dengan efektif dan sangat penting. Model-model atau upaya pemertahanan bahasa Jawa di DIY menunjukkan bahwa bahasa Jawa masih hidup, berkembang dan secara aktif digunakan oleh pemiliknya[9].






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Bahasa Jawa Yogyakarta memiliki beberapa kekhasan lingual. Kekhasan itu berupa tata bunyi (fonetik), struktur (gramatika), dan kosakata (leksikon). Kekhasan dialek bahasa Jawa standar ini akan sangat terlihat jika dikontraskan dengan dialek bahasa Jawa yang lainnya.
Apabila kita lihat dari perbedaan suasana pemakaiannya,  ragam tutur bahasa Jawa dapat dibagi menjadi ragam formal, ragam informal, dan ragam literer (pustaka). Ragam formal banyak diapakai dalam bahasa tulis dan bahasa lisan suasana formal. Ragam informal bentuk bahasanya cenderung kurang lengkap, banyak pemendekan atau kontraksi kata. Bentuk bahasa ragam literer lebih banyak menggunakan kosakata klasik dari bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Ragam literer banyak digunakan dalam bahasa pustaka.
Dalam bahasa Jawa terdapat tingkatannya :
1.      Bahasa ngoko yang terdiri dari ngoko lugu dan ngoko alus, dan
2.      Bahasa krama yang terdiri dari krama lugu dan krama alus.
Ditemukan juga kerata bahasa atau disebut juga akronim. Dalam kerata basa suku kata depan atau suku belakang bisa dicampur aduk, yang akronim tersebut memberi makna yang sama bagi sebuah kata.
Bahasa Jawa juga ditemukan kesamaan kata dengan bahasa dari daerah lain, meskipun lisan dan tulisannya sama, tetapi biasanya arti dari keduanya tersbut berbeda.
Di zaman modern ini, pemerintah harus turut berupaya dalam mempertahankan Bahasa Jawa, beberapa upaya yang dilakukan pemerintah antara lain menajdikan bahasa Jawa sebagai:  
1.      sebagai alat komunikasi,
2.      penyatuan bahasa dan budaya,
3.      kearifan lokal,
4.      kebijakan Pemda,
5.      dunia pendidikan,
6.      kegiatan LSM, dan Jurnalistik Jawa.

B.     Saran
Dengan mempelajari bahasa Jawa diatas, diharapkan kita sebagai mahasiswa khususnya penutur bahasa Jawa bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar. Dan mahasiswa bisa turut serta bersama pemerintah mengupayakan pemertahanan bahasa Jawa karna bahasa Jawa termasuk bahasa yang sangat banyak penuturnya dan tidak tergeser oleh modernitas yang menjadi salah satu faktor tergesernya bahasa Jawa.
















DAFTAR PUSTAKA
Endang N, Mulyana, Hesti M, dan Suwardi. (2013). “Strategi Pemertahanan Bahasa Jawa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor 1. 159-166
Muljono, Iwan M. “Memahami Kerata Basa.”
Sentosa, Sedya. 2013. Penguasaan Bahasa Daerah dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI. Yogyakarta: Mandiri Grafindo Press
Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.



[1] Wedhawati, dkk.Tata Bahasa Jawa Mutakhi, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2006}, hlm.1-2
[2] Ibid. Hlm. 13
[3] Wedhawati, dkk.Tata Bahasa Jawa Mutakhi, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2006}, hlm.12
[4]Sedya Sentosa, Penguasaan Bahasa Daerah dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI, (Yogyakarta: Mandiri Grafindo Press, 2013), hlm. 103-105
[5]Ibid., hlm. 105-107
[6]Iwan M. Muljono, “Memahami Kerata Basa”, diakses dari http://iwanmuljono.blogspot.co.id./2012/06/memahami-kerata-basa.html?m=1, pada tanggal 26 Maret 2017 pukul 11.17 WIB
[7]Sedya Sentosa, Penguasaan Bahasa Daerah dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI, (Yogyakarta: Mandiri Grafindo Press, 2013), hlm. 130
[9] Endang Nurhayati, Mulyana, Hesti Mulyani, dan Suwardi,  Strategi Pemertahanan Bahasa Jawa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor 1, April 2013

kenapa???

kenapa?? selalu orang lain melihat dari apa yang nampak saat ini, ia tak pernah melihat bagaimana proses yang telah dilakukan sebelumnya. ...