Senin, 04 Desember 2017

Cerita Singkat tentang Komplek Q



PP Al Munawwir Komplek Q, salah satu pondok putri di bawah naungan yayasan PP Al Munawwir, Krapyak Yogyakarta, tempat aku tinggal saat ini sejak 2016. Pondok pesantren putri ini didirikan oleh KH. Ahmad Warson Munawwir, yang merupakan sosok pengarang kamus legendaris, Al Munawwir. Ya, tidak banyak orang tahu bahwa kamus populer itu dikarang oleh Bapak. Ya, kami memanggil dengan nama Bapak. Beliau wafat pada tahun 2013. Jadi, ketika aku masuk komplek Q tidak menjumpai sosok Bapak yang sering diceritakan oleh Mbak-Mbak atau pun yang sering diceritakan oleh Ibu Nyai.

Komplek Q adalah pondok khusus mahasiswa dan juga beberapa santri pelajar baik dari SMK Al Munawwir sendiri maupun pelajar yang sekolah di luar. Kegiatan di Komplek Q sangat padat. Kegiatan di mulai ba’da maghrib, mulai dari jamaah, Madrasah Diniyah sampai jam 9, PQ dan Sorogan. Semua kegiatan itu kira-kira berakhir 21.30-22.00 lah ya, tergantung antrian PQ Sorogan. Kalau datang cepet ya bisa selesai cepet, kalo telat yang sabarlah mengantri.

Selain kegiatan malam, ada kegiatan ngaji di pagi hari. Untuk hari Senin, Selasa, Sabtu yaitu PQ (Pengajian Al-Quran) pagi. Rabu, Kamis ngaos (bandongan) Kitab Tafsir Jalalain oleh Bapak Thoifur. Jumat pagi itu muqodaman, dan Ahad pagi ngaos bersama Gus Kholid dengan Kitab Nashoihul Ibad.
Kegiatan ngaos sore pun ada, namun hanya Rabu, Kamis, Sabtu, Ahad, saja. Rabu sore dengan kitab Takrib oleh Bapak Suhadi, untuk hari selanjutnya dengan kitab Syamailul Muhammadiyah oleh Bapak Muslih.

Begitu padatnya kegiatan di Komplek Q sehingga selain sebagai mahasiswa juga sebagai santri harus pandai mengatur dan memanfaatkan waktu. Bagaimana agar semua berjalan seimbang, meskipun pada akhirnya masing-masing hanya 50% saja. Tapi percayalah bahwa keberkahan itu ada. Asalkan kita mengikuti kegiatan dengan baik, ngaji sregep, jamaah sregep, PQ Sorogan sregep, madin sregep, insya Allah akan merasakan hasilnya nanti. Ya Ibu Nyai selalu menceritakan Mbak-mbak Komplek Q yang sudah sukses, menjadi tokoh politik, aktivis kewanitaan, pendiri pondok, pejabat, dll. Mereka berawal dari kata kunci tadi “Sregep”.

Kamis, 30 November 2017

Sekaten, 25 November 2017



Ini foto kemarin pas ke Sekaten, Sabtu, 25 November 2017. Jujur baru pertama kali ke Sekaten, meski aku di Jogja sudah dari 2015. Yup hahaha kelihatan banget kalo jarang main. Dulu 2015 pertama ke Jogja Sekaten sudah lewat. 2016 waktu di pondok, diajak sama teman-teman kamar tapi aku enggak mau.

Baru kemarin teman-teman kamar berencana ke Sekaten. Sudah dibikin list siapa aja yang mau ikut. Tapi aku enggak ngelist karena kukira aku pulang sampe pondok pas waktu ngaji. Ternyata sampai pondok, ngaji sore jam 4 libur. Dan di kamar hanya ada satu orang, Fatiha. Kutanya dia, "Mbak-mbak udah pada berangkat?".
"Udah Mbak, baru aja. Aku sebenarnya pengen ikut, tapi enggak ada boncengan."

Akhirnya aku ajak dia, yang kebetulan masih termasuk santri baru, baru masuk 2017. Haha. Kita berangkat nyusul. Kebetulan tempat Sekatenan di Alun-alun Utara yang jaraknya tak jauh dari pondok. Cukup 10-15 menit. Kita berangkat pukul 16.30 cukup ramai. Dan kebetulan sore itu cerah dan karena malam minggu juga. Sebelumnya 3 hari kemarin berturut-turut hujan tak berhenti. Jadi pas sekalinya ke Sekaten, ternyata di sana banyak juga ketemu Mbak-mbak santriwati Komplek Q, termasuk ibu Lurah. 😀

Sampai di sana, langsung mencari teman-teman kamar yang lain. Singkatnya sambil menunggu agak gelap kita baru mau naik Kora-kora. Pasti tahu kan? Nah ini pengalaman keduaku naik kora-kora, jadi aku bersikap biasa aja. Kebetulan kita yang naik hanya berempat. Satu hal unik dari Mbak yang di sampingku, rasanya pengen ketawa terus. Haha. Ya setlah naik kora-kora, baru berapa kali ayunan di sudah berteriak, "ibu, ibu, heuheu". Sambil menangis. Semakin kencang ayunan semakin menjadi- jadi. Hingga sampai selesai di masih menangis. Di bilang, "udah, kapok."

Kutanya dia, belum pernah naik kora-kora po? Ternyata sudah tapi dulu, masih kecil. Haha pantes aja. Mungkin lupa ya rasanya naik kora-kora. Aku yang di sampingnya cukup malu sebenarnya, karena Mbaknya nangisnya kenceng banget. Wkwk. Tapi ya sudahlah. Ketika turun, kita semua menertawakan Mbak Nadia sebenarnya. Tapi melihat kondisinya yang lemah ternyata kasihan juga. Katanya masih pusing kalau lihat yang muter-muter.

Selasa, 21 November 2017

Monev and Gathering ITTC 2017


Tim Instruktur dan Fasilitator Training ITC 2017/2018
Untuk pertama kali ikut dan pertama kali tahu apa itu Monev. Apa sih Monev sebenarnya? Monev itu kependekan dari Monitoring dan Evaluasi. Setelah Training ICT telah berjalan 1,5 bulan dari 18 September 2017 baru kali ini diadakan evaluasi.

Hari ini Sabtu, 4 November 2017.

Rangkaian kegiatan hari ini kita dimulai dengan foto bersama. Dengan dresscode yang sama antara Instruktur dan Fasilitator yaitu baju putih dengan bawahan hitam, dan jilbab hitam bagi yang cewek dan dasi bagi yang cowok. Di agenda kumpul pukul 08.00 WIB tapi aku datang sedikit terlambat yaitu 08.10. WIB karena ada yang harus mengantar kamera untuk keponakanku ke Magelang lalu aku balik Jogja lagi dan aku berangkat pukul 06.15. Cukup melelahkan sebenarnya, tapi harus aku lakukan karena kamera mau dipakai besok dan keponakanku pun mendadak ngabarinnya. Hufft.. sampai di Rektorat lama ternyata sudah banyak yang datang. Sebelumnya aku cukup kaget ketika berpapasan di depan Rektorat Lama ketemu dengan Mas Ervan yang pakai baju batik melaju dengan sepedanya. Sepintas terpikir, “loh, aku enggak salah kostum kan?”, kataku dalam hati. Namun setelah masuk Sekretariat ternyata teman-teman yang lain sudah siap dengan seragamnya. Begitu aku datang sama Mas Ervan, ada yang tanya gini, “Loh, Paman kok enggak pakai seragam sih?”, celetuk yang lain. Lalu Mas Ervan jawab, “La kan aku yang mau moto kalian.”

Setelah semua siap kita bareng-bareng ke Convention Hall untuk foto di sana. Jadi kita bonceng-boncengan. Mulai dari foto bareng-bareng yang formal, gaya bebas sampe boomerangan. Haha. Dan setelah itu masih foto perorangan. Nah ini yang cukup bikin lama karena nunggu foto sendiri-sendiri. Selesai foto sekitar jam 10.30 an. Ada beberapa yang baru datang malah Mas Puguh, Mas Agung, Mas Haidar, dan satu lagi fasilitator. Selesai foto kita langsung balik ke Rektorat Lama langsung masuk Ruang Training III untuk Evaluasi.

Baru kali pertama merasakan Evaluasi Kerja yang berbeda. Rasanya aku sedang berada di tempat kerja dan melupakan kuliahku. Aku melakukan evaluasi layaknya pekerja kantoran profesional. Dan aku sadar, memang ITTC itu layaknya kerja dan benar-benar profesional. Rasanya senang punya pengalaman seperti ini, padahal aku masih kuliah tapi aku layaknya sudah kerja profesional. Nah, forum evaluasi ini dipimpim oleh Mas Habibie. Beberapa evaluasi menyangkut pelakasanaan Training ICT baik instruktur maupun fasilitator.

Banyak kritik dan saran yang masuk. Beberapa kritikan untuk fasilitator sedikit menyadarkanku dan mengevaluasi diriku sendiri. Seperti halnya kritikan—masih banyak fasilitator yang datang hanya sekedar ngambil kunci dan presensi lalu masuk ruangan nanti selesai balikin kunci dan pulang. Artinya tidak ada yang main ke kantor, semua hanya untuk sekedar melakukan kewajiban. Dan terkadang yang disapa hanya orang yang dikenal atau instrukturnya saja, padahal di sekretariat itu ada orang lain. Nah loh. Itu aku banget. Wkwk

Tapi ternyata setelah aku tanya beberapa rekan yang lain mereka merasakan hal yang sama. “Kritikan untuk fasilitator rasanya itu aku banget.” Celetuk mereka. Yup ternyata bukan hanya menjadi bahan evaluasi aku aja, yang lain pun begitu.
Selesai evaluasi ditutup, kita lanjut istirahat dulu, sholat zuhur baru makan siang. Nah, kita bikin lingkaran di depan sekretariat baru makan dibagikan. Yeaayy rasanya seneng banget. Haha kelaperan euy dari pagi belum makan. Haha—kasian.

Kukira yang sebelumnya selesai makan bisa pulang ternyata masih ada sesi permainan. Ini lhoh yang namanya gathering. Sebelumnya kita dikerjain sama beberap instruktur yang bikin drama buat ngerjain Mas Agung yang ulang tahun di hari ini. Wkwk cukup menegangkan sebenarnya, Mas Agung yang disalah-salahkan. Di kritik habis-habisan dan dibuka di forum. Duhh kok jadi gini ya? Sebenarnya sih aku enggak kaget karena udah liat gelagat mereka sebelum forum ini ada something pokoknya mah. Nah, benar ternyata Mas Agung dikerjain. Haha selamat ya, Selamat Ulang Tahun juga buat Mas Agung, instrukturku Hari Kamis sesi 3 Training I.
Nah, habis itu baru permainan. Asyik ternyata permainannya sedikit mikir haha. Baru ngerasain oh ini toh gathering.

Cukup mengasyikkan hari ini. Seneng banget rasanya, selain bisa saling mengenal—buat yang belum kenal, juga tambah bikin akrab ajah. ^_^

Yogyakarta, 15 November 2017
Intersat 5.25 PM

Minggu, 05 November 2017

Observasi Magang I

photo by : me

Observasi Magang I merupakan awal dari rangkaian Magang yang harus dipenuhi sebagai syarat kelulusan di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Tugas mahasiswa di observasi Magang I ini hanyalah melihat, mengamati, dan memperhatikan bagaimana cara guru mengajar. Selain itu, mahasiswa juga mulai belajar bagaimana psikologi siswa, melihat respon mereka dalam belajar.

Menjadi seorang pendidik ada 4 kompetensi yang harus dimiliki, yaitu paedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Nah, apa itu paedagogik? Yaitu seorang pendidik menguasai rancangan pembelajaran, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Selain itu, penting juga pendidik menguasai psikologi pelajar agar mampu menguasai kelas dan menyesuaikan siswa yang diajakannya.
Observasi Magang I dilakukan terhadap 2 orang guru. Misalkan seseorang jurusan PBA di sekolah tempat ia observasi ia mengamati cara mengajar 2 guru tersebut dengan persetujuan pihak sekolah sebelumnya dan sudah menyesuaikan jadwal dengan mahasiswa. Respon Bapak/Ibu guru masing-masing seklah berbeda-beda. Pernah mendapat cerita yang sungguh menyenangkan dari salah satu teman karena guru yang mereka observasi sangat baik dan merespon positif kedatangan mahasiswa. Namun, pernah juga mendapat cerita pengalaman ada guru yang membatasi mahasiswa dan kurang memberikan respon yang baik. Semua kembali pada mahasiswa bagaimana mereka menyikapi hal tersebut.

Selamat dan Semangat Kawan. Semoga Magang I sukses dan lancar sekaligus menjadi bekal buat kalian. Magang I sukses ! 

Senin, 04 September 2017

Ngaos bersama Bapak Hafid Abdul Qodir Munawwir

Ngaos bersama Bapak Hafid Abdul Qodir Munawwir
Bapak KH. Hafid Abdul Qodir merupakan putra dari KH. R. Abdul Qodir Munawwir. Beliau adalah putra dari KH. Munawwir, pendiri PP Al Munawwir Krapyak Yogyakarta.
Sabtu, 29 Juli 2017 tepatnya malam Ahad ba’da maghrib adalah jadwal ngaos bersama Bapak Hafid. Beliau mengawali pengaosan dengan bercerita silsilah beliau mengaji. Dahulu beliau mengaji Alquran dengan KH. M. Mufid Mas’ud (Mbah Mufid) yang makamnya berada di Pandanaran, Yogyakarta. Mbah Mufid sendiri merupakan murid dari ayahnya Bapak Hafid, yaitu KH. Abdul Qodir Munawwir. Dan beliau mengatakan bahwa silsilah dari Mbah Munawwir sampai pada Rasulullah saw. itu ada 28 guru.
Ada sepatah kata yang menarik yang beliau katakan.
“Semua orang yang Qur’annya baik pasti punya guru.”
Ya, benar memang yang beliau katakan. Sangat tidak mungkin jika seseorang yang Al-Qurannya baik tidak memiliki guru.
Berikut ini beberapa cara mengaji Al-Quran yang baik yang disampaikan oleh Pak Hafid:
1.      Guru memberikan contoh, kemudian murid mengikuti. Ini adalah cara yang paling baik dan cara yang pada umumnya dilakukan.
2.      Murid membaca, guru membetulkan. Dengan murid yang membaca Al-Quran terlebih dahulu, maka seorang guru akan mengetahui dimana letak kesalahan sang murid sehingga dapat dibetulkan.
3.      Mendengarkan cara mengaji para ahli Quran. Yang dimaksud di sini seperti halnya dengan mendengarkan murottal. Namun cara ini sebaiknya dijadikan sebagai alternatif pilihan terakhir karena mengaji Alquran itu seharusnya musyafahah. Musyafahah artinya yaitu melihat langsung atau bertatap muka antara murid dengan guru agar mengetahui bagaimana bentuk mulut atau makhorijul hurufnya.
Hukum bisa membaca Alquran adalah fardlu ‘ain. Artinya sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membaca Alquran dengan baik atau tartil. Dan ukuran seseorang sudah bisa membaca Alquran dengan baik adalah guru, yaitu dengan membaca Alquran di hadapan seorang guru.
Sedangkan hukum menghafal Alquran adalah fardlu kifayah.  Seperti halnya menyolatkan mayit. Fungsi penghafal Alquran adalah memasyarakatkan Alquran juga meng-Alqurankan masyarakat. Minimal dalam satu kampung ada 1 orang penghafal Al quran. Jika tidak ada 1 kecamatan harus ada 1 orang Tahfidzul Quran. Jika satu kecamatan tidak ada, satu kabupaten harus ada minimal 1 orang. (Ini adalah perkataan ulama yang paling longgar)
Ada falsafah mengatakan:
“Lampu kecil di tempat yang gelap sangat bermanfaat.”
Keutamaan membaca Alquran:
“Barangsiapa yang lisannya selalu membaca Alquran, maka Allah akan memberikannya sebaik-baik anugerah sebagaimana Allah berikan kepada orang-orang yang telah Ia berikan anugerah.”
Terakhir sebelum menutup pengaosan, Bapak memberikan tips agar hidup bahagia, rezekinya cukup, dan mendapatkan nasib yang mujur, yaitu dengan cara memperbanyak membaca Alquran dan perbanyak membaca sholawat.

Demikian sekelumit apa yang sudah didapatkan dari ngaos malam Ahad. Semoga bermanfaat. ^_^

Minggu, 09 Juli 2017

Go on Vacation to Dieng Wonosobo

Minggu, 2 Juli 2017
Haii gaess. Kenalin ini temen-temen MI ku. Ternyata udah pada gede sekarang 😃. Awal ketemu bukber, lanjut silaturahim, terus main deh. Yah sesuai rencana kita main hari Minggu. Mumpung masih pada bisa, belum pada masuk kerja sama kuliah. Hehe..
Oh ya kenalin dulu nih dari yang paling kiri namanya Hasan, Muna, Bagus, Hanifan, Nisa (saya), Reni, sama Ipul. Ya kita berangkat bertujuh, ganjil memang. Rencana awal kita berdelapan, tapi karena satu orang nggak jadi ikut akhirnya bertujuh. Kita berangkat sekitar pukul 8.10 WIB dari Magelang lewat jalur selatan yaitu Salaman-Sapuran, Wonosobo. Sampai di Dieng sekitar pukul 11.00 WIB. Cukup lama memang apalagi dengan jalan yang berkelok-kelok. Tapi tak kalah dengan pemandangan indah yang menyejukkan mata selama perjalanan. Semua lelah karena perjalanan jauh terbayar dengan apa yang di depan mata.
Pertama masuk kawasan Dieng Wonosobo membayar tiket masuk wisata sebesar 50ribu. Karena kita rombongan tujuh orang, jadi dihitung 50ribu. Sampai di tempat wisata pertama yaitu Telaga Warna kita istirahat sambil nyari tempat makan. Akhirnya kita makan di dalam tempat wisata. Dan jangan kaget dengan harga makanan di sana. Siap-siap kantong kering hahah.. 😃. Ada yang beli bakso dan ada yang beli mie Ongklok-karena penasaran pengen nyobain katanya-. Mie ongklok merupakan makanan khas Dieng Wonosobo. Makanan yang di dalamnya ada mie dan sayur kubis dengan bumbu kacang diatasnya lengkap ada sate. Hhmm.. nyam nyam. Baunya sangat menggoda. Tapi aku nggak beli mie, aku lebih memilih bakso karena hawa dingin pengen makan yang berkuah. Haha..
Selesai makan terus bayar, kaget sebenarnya. Harganya waww. Bakso lengkap dengan mie harganya 15 ribu rupiah. Gak kebayang bukan padahal dengan porsi kecil padalagi baksonya hanya ada tiga buah, berarti satu buah bakso 5 ribu dong. Wkwkk. Dan harga mie ongklok juga lebih mahal dari bakso. Berapa?? 20 ribu rupiah. Buat aku mahasiswa yang tinggal di Jogja harga segitu termasuk mahal karena kebiasaan makan di Jogja murah-murah, 😃. Lanjut habis makan rencana mau sholat, tapi karena melihat keadaan musholla yang tidak memungkinkan jadi kami lanjut masuk wisata dan jalan-jalan. Tiket masuk wisata Telaga Warna dikenai biaya 8.500 rupiah per orang. Dan kondisi cukup ramai karena bertepatan dengan akhir pekan dan libur lebaran. Kami masuk dan menikmati suasana telaga dan nggak lupa yang paling utama adalah foto. 😃
Ya foto memang media untuk mengabadikan momen. Karena setiap momen itu tidak akan terjadi dua kali. Haha.. kata pecinta foto.
Setelah sholat zuhur lanjut ke Candi Arjuna. Lokasinya tidak jauh dari Telaga Warna. Sampai di Candi Arjuna ada kabar yang disebar melalui Whatsapp yang mengatakan bahwa telah terjadi letusan di kawah Sileri, Dieng Wonosobo. Alhamdulillah.. lokasinya jauh dari tempat yang sedang kami kunjungi. Sontak kita langsung dihubungi keluarga di rumah menanyakan keadaan kita. Termasuk aku dihubungi oleh kakak-kakakku. Langsung aku kabari bahwa aku baik-baik saja di sini.
Selamat siang komandan.
Ijin melaporkan pada Minggu, 2 Juli 2017 sekira pukul 12.00 WIB telah terjadi letupan Kawah Sileri turut Desa Kepakisan Kec. Batur Kab. Banjarnegara sebanyak 1 kali dengan ketinggian lk 50 meter.
Adapun untuk pengunjung maupun warag diminta untuk meninggalkan lokasi dan untuk area kawah sudah disterilisasi karena info dari Sdr. Surip (Pos Gunung Api Dieng) bahwa kejadian tersebut berpotensi menimbulkan letupan susulan.
Lahar yang dikeluarkan adalah lahar dingin perkembangan akan segera dilaporkan.
Dst.
Dan seterusnya.
Karena pengunjung cukup padat dan candi sedang dipugar maka kami lebih memilih duduk di rerumputan untuk bersantai dan berfoto. Tapi melihat kondisi jalan yang begitu padat yang terlihat dari tempat kita duduk, maka kita memuaskan berfoto sambil menunggu kira-kia agar tidak terjebak macet. Puas dengan foto lanjut ke tempat selanjutnya yaitu kawah Sikidang.
Sampai di Kawah Sikidang pun banyak wisatawan yang memadati tempat wisata. Kebanyakan adalah wisatawan lokal dari berbagai daerah yang menikmati libur lebaran dengan berwisata bersama keluarga. Masuk lokasi wisata menikmati jalanan menuju kawah dan berfoto di sekitar kawah. Puas berfoto-foto dan mengingat waktu ashar sudah hampir habis kita langsung mencari musholla untuk sholat. Ternyata sampai di parkiran sudah sepi. Dari masuk parkiran penuh dengan kendaraan para pengunjung yang didominasi oleh kendaraan roda empat. Perjalanan turun dari Dieng ditemani dengan kabut tebal dan udara dingin membuat kami berjalan pelan. Padahal waktu sudah menunjukkan 17.30 WIB. Tidak apa-apalah pelan-pelan saja. Keluar dari tempat wisata kita mencari tempat untuk sholat. Udara dingin membuat kita kelaparan dan selesai sholat kita mencari tempat makan. Dan akhirnya kita makan di dekat pasar Kertek. Jauh memang dari lokasi masjid tempat kita sholat tadi yang masih di daerah Garung Dieng Wonosobo. Karena di jalan kita sempat bingung mau makan apa dan dimana karena selera masing-masing dari kita juga berbeda. Akhirnya karena kita semua sudah lapar semua setuju makan di Pecel Lele Lamongan. Sambil menikmati makan kita istirahat sejenak dan sambil itung-itungan bayar tempat wisata. Hahha. 😃 dan juga berbagi foto. Wkwwk biasa anak sekarang yang dicari foto buat update di media sosial, terutama instagram, haha.. ternyata makan dan berbagi foto cukup menyita waktu yang lama. Dari mulai jam 7 sampai setengah 9 malam. Wahh lumayan. Akhirnya kita meneruskan perjalanan pulang. Sampai di Tempuran, Magelang aku sama Hasan terjebak ban bocor. Padahal kita paling belakang dan teman-teman yang lain sudah jauh di depan. Aku sudah menghubungi mereka tapi tak ada jawaban. Akhirnya Reni sama Ipul datang menghampiri kami, sedangkan yang lainnya sudah jauh. Sempat kebingungan juga karena sudah malam dan waktu menunjukkan pukul 10 malam, kami sudah berfikir mana ada tambal ban yang masih buka. Berjalan lumayan alhamdulillah ada tambal ban yang buka. Kalian tahu berapa yang bocor? Ada 4. Wahh banyak banget itu. Kok bisa? Ternyata ada paku. Akhirnya langsung motorku ganti ban dalam dan kita bisa pulang. Yeeyy alhamdulillah.
Sampai di pasar Sraten ternyata Muna, Mega, sama Hanifan udah nunggu di sana. Kalian tahu ada cerita lucu dari Hanifan. Dia bertanya padaku,
“Nis, kamu tadi udah bayar makan po?”, tanya Hanifan.
“Iya, udah kenapa emang? Tadi aku bayar sekalian punya Hasan.” Jawabku.
“lohh, masak aku lupa belum bayar, hahaha 😃
Sontak semuanya langsung ketawa. Hahah.. bisa-bisanya dia lupa belum bayar makan.wkwkk.

Dan alhamdulillah.. aku sampai di rumah pukul 10.30 WIB dengan selamat dianter sama temen-temen. Alhamdulillahh.. perjalananan yang melelahkan tapi mengasyikkan.

Jumat, 26 Mei 2017

Contoh Makalah Sosiolinguistik Bahasa Jawa


BAHASA JAWA
YOGYAKARTA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu : Dr. Sembodo Ardi Widodo, S.Ag., M.Ag.
Disusun oleh :
Muhammad Taufan        15420 055
Adelina Fatnin                15420110
Asmak Anisah                15420113

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun untuk menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 28 Maret 2017


Penulis            



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
A.    PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1
b.      Rumusan Masalah............................................................................................ 2
c.       Tujuan.............................................................................................................. 2
B.     PEMBAHASAN
a.       Sejarah Bahasa Jawa....................................................................................... 3
b.      Dialek Bahasa Jawa Standar .......................................................................... 4
c.       Ragam Tutur.................................................................................................... 8
d.      Tingkatan Bahasa Jawa................................................................................... 8
e.       Kerata Basa................................................................................................... 11
f.        Persamaan Kata dalam Bahasa Jawa dengan bahasa yang lain..................... 12
g.      Bahasa Pujian dan Bahasa Ejekan................................................................. 13
h.      Pemertahanan Bahasa Jawa........................................................................... 15
C.     PENUTUP
a.       Kesimpulan.................................................................................................... 16
b.      Saran ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 19




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang majemuk, berbagai suku, ras, budaya, adat, agama dan bahasa, ada di dalamnya. Bahasa, adalah salah satunya yang menjadikan negeri kita ini semakin beragam. Setiap suku, pasti memiliki bahasa tersendiri, sebut saja suku Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Dayak, itu hanya sebagian kecil saja. Menarik perhatian adalah tentang bahasa Jawa. Bahasa Jawa termasuk salah satu bahasa yang sudah kita kenal dan sudah kita gunakan sedari kita kecil. Sadar atau tidak, bahasa krama Jawa ternyata sangat mempengaruhi kita. Diantara semua orang yang berada di Jawa, sebagian besar dari mereka pasti mengajarkan bahasa krama kepada anak-anaknya semenjak lahir.
Bahasa Jawa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.Dari segi kuantitas, pemakai bahasa jawa lebih dari 150.000.000 jiwa dan tinggal dimana-mana. Daerah pemakaian tersebut membentang dari perbatasan Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, sampai Jawa Timur. Dengan demikian bahasa Jawa juga memiliki dialek yang tidak sedikit jumlahnya, misalnya dialek pesisir Utara Jawa Tengah, dialek Banyumasan, dialek Banyuwangi, dialek Surabaya, dan dialek Jogjakarta.
Bahasa Jawa dengan penutur yang sangat besar ini, belum seluruhnya dari mereka menggunakannya dengan baik dan benar. Masyarakat Jawa mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk mengembangkan bahasa Jawa, tetapi sering terhalang oleh komunikasi modern yang jauh dari bahasa Jawa. Seiring berjalannya waktu, ada pergeseran pemakaian bahasa Jawa terutama di wilayah Yogyakarta yang tentunya cukup banyak faktor yang mempengaruhi pergeseran ini. Oleh karena itu, pemerintah harus turut berupaya mempertahankan bahasa Jawa khususnya di Yogyakata dengan memberikan strategi-strategi agar tidak tergeser oleh modernitas.





B.     Rumusan Masalah
Rmusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana sejarah Bahasa Jawa?
2.      Bagaimana dialek dalam Bahasa Jawa?
3.      Bagaiman ragam tutur dalam Bahasa Jawa?
4.      Bagaimana tingkatan dalam Bahasa Jawa?
5.      Bagaimana cara melestarikan Bahasa Jawa?
C.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini sebagai berikut.
1.      Mengetahui dan memahami sejarah Bahasa Jawa
2.      Mengetahui dan memahami dialek dalam Bahasa Jawa
3.      Mengetahui dan memahami ragam tutur dalam Bahasa Jawa
4.      Mengetahui dan memahami tingkatan dalam Bahasa Jawa
5.      Mengetahui dan memahami bagaimana cara melestarikan Bahasa Jawa



BAB II
ISI
A.    Sejarah Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa pertama penduduk Jawa yang tinggal di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, daerah-daerah transmigrasi di Indonesia, di antaranya sekitar Provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan beberapa tempat di luar negeri, yaitu Suriname, Belanda, New Caledonia, dan Pantai Barat Johor. Jumlah penuturnya sekarang 75,5 juta. Di dunia terdapat 6.703 bahasa. Bahasa Jawa menempati urutan ke-11 dalam hal jumlah penutur terbanyak.
Bahasa Jawa secara diakronis berkembang dari Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno berkembang dari bahasa Jawa Kuno Purba.  Bahasa Jawa atau disebut Bahasa Jawa Baru/Modern dipakai oleh masyarakat Jawa sejak sekitar abad 16 sampai sekarang. Berkembangnya Bahasa Jawa Baru bersamaan dengan beralihnya kebudayaan Hindu-Budha-Jawa kekebudayaan Islam-Jawa. Bahasa Jawa Baru, yang banyak mendapat pengaruh kosa kata bahasa Arab, dipakai sebagai wahana baik lisan maupun tertulis dalam suasana kebudayaan Islam-Jawa.  Dalam suasana itu ragam tulis bahasa Jawa tidak hanya ditulis dengan huruf Jawa dan Latin saja, tetapi juga ditulis dengan huruf Arab. Huruf Arab dipakai dan disesuaikan dengan system bahasa Jawa dan diubah menjadi huruf Pegon[1].
Bahasa Jawa Kuno dipakai oleh masyarakat Jawa sejak abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-15. Mulai abad pertama sampai dengan keenam,   Bahasa Jawa Kuno hanya dipakai secara lisan.  Bahasa jawa Kuno banyak mendapat pengaruh tambahan kosakata Sansekerta. Jumlah kosakata dari bahasa Sansekerta mencapai 45% dari keseluruhan kosakata bahasa Jawa Kuno yang  ada. Bahasa Jawa Kuno dipakai sebagai wahana baik lisan maupun tulisan dalam suasana kebudayaan Hindu-Budha-Jawa sejak abad ke-7 sampai dengan abad ke-15. Huruf yang dipakai mula-mula ialah Pallawa kemudian diciptakan huruf Jawa Kuno. Pemakaian Bahasa Jawa Kuno tertua tertulis ialah pada Prasasti Sukabumi berangka tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi).Karya sastra yang paling awal disadur dalam bahasa Jawa Kuno dengan huruf Jawa Kuno pada abad ke-19 ialah Ramayana dan Mahabarata berasal dari India.

B.     Dialek Bahasa Jawa Standar

Bahasa Jawa dialek standar mencakupi daerah Yogya dan Solo. Oleh karena itu, sering disebut dialek Yogya-Solo. Dialek standar ini dengan berbagai perubahan isolek, juga digunakan di daerah sekitar Yogyakarta, seperti Purworejo, Magelang, Temanggung, dan beberapa kabupaten di sekitar Surakarta, seperti Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri. Sebagai dialek dengan pemakaian di tengah, dialek standar memiliki dua wilayah antara atau wilayah peralihan.Wilayah peralihan bagian timur berada di sekitar Pacitan, Madiun, dan Grobogan; wilayah peralihan bagian barat berada di sekitar Prembun, Wonosobo, dan Banjarnegara[2].
Bahasa Jawa dialek standar memperlihatkan beberapa kekhasan lingual. Kekhasan itu berupa tata bunyi (fonetik), struktur (gramatika), dan kosakata (leksikon).
a.       Kekhasan Tata Bunyi (fonetik) Dialek Standar
Dialek standar memiliki enam fonem vocal dan dua puluh tiga fonem konsonan.Sebagai satu dialek,  fonem dialek standar memperlihatkan kekhassan jika dikontraskan dengan dialek yang lain. Kekhasan fonem itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekhasan fonem vocal dan fonem konsonan.
·         Kekhasan fonem vocal
Kekhasan fonem vocal yang dimiliki dialek standar, yaitu di antaranya sebagai berikut:
a)      Fonem /i/
Fonem /i/ yang berposisi pada suku ultima (sukuakhir) tertutup diucapkan [I], tetapi pada dialek lain diucapkan [i] (pada dialek Banyumas) atau  [ä] ( pada dialek Pesisir Utara-Tengah).
b)      Fonem /u/
Fonem /u/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [U], tetapi pada dialek lain diucapkan [u] (pada dialek Banyumas) atau [Í»] pada dialek Pesisir Utara-Tengah).
c)      Fonem /a/
Fonem /a/ yang berposisi pada suku ultima tertutup diucapkan [a], sedangkan yang berposisi pada suku ultima terbuka diucapkan [É‘]. Pada dialek lain, fonem /a/ diucapkan (1) [a] pada dialek Banyumas, baik pada posisi ultima maupun pada posisi penultima dan (2) [É‘] pada dialek Pesisir Utara-tengah, baik pada posisi ultima maupun pada posisi penultima.
Kekhasan fonem vokal dialek standar seperti disebutkan pada butir (a)-(c) dapat dilihat pada beberapa contoh berikut:

Fonem Ortografi                               Fonetik                                               Glos
                                    Dialek             Dialek              Dialek Pesisir
Standar          Banyumas      Utara-Tengah
/i/         getih                [ghÓ™tɪh]            [ghÓ™tih]            [ghÓ™tÔ‘h]                        ‘darah’
/u/        abuh                [abhUh]           [abhUh]           [abhUh]                       ‘bengkak’
/a/        lenga               [lәŋͻ]               [lәŋͻˀ]              [lәŋͻ]                           ‘minyak’



b.      Kekhasan Fonem Konsonan
Kekhasan fonem konsonan yang dimiliki dialek standar di antaranya terlihat pada fonem /p/,/t/,/k/,/Ë€/ jika dikontraskan dengan dialek banyumas dan fonem /w/, /m/, /h/ jika dikontraskan dengan dialek Jawa Timur.
(a)   Fonem /p/ yang berposisi pada akhir kata diucapkan [b] pada dialek Banyumas.
(b)   Fonem /k/ yang berposisi pada akhir kata diucapkan [g] pada dialek Banyumas
(c)   Fonem /Ë€/ yang berposisi pada akhir kata diucapkan [k] pada dialek Banyumas.
(d)   Fonem /t/ yang berposisi pada pada akhir kata diucapkan [d] pada dialek Banyumas
(e)   Fonem /w/ yang berposisi pada akhir kata diucapkan [wh] pada dialek Jawa Timur
(f)    Fonem /m/ yang berposisi pada awal kata diucapkan [mb] pada dialek Jawa Timur
(g)   Fonem /h/ yang berposisi pada akhir kata menjadi lesap pada dialek Jawa Timur.

Fonem Ortografi                               Fonetik                                               Glos
                                                Dialek             Dialek              
Standar          Banyumas     
            /p/        sebab                          [sÓ™bhap]           [sÓ™bhab]                                   ‘sebab’
            /k/        godhog                        [gÍ»dhÍ»k]          [gÍ»dhÍ»k]                                  ‘rebus’
            /Ë€/         pundhak                      [pundhaË€]         [pundhak]                                ‘bahu’
            /t/         lemut                           [lÓ™mut]             [lÓ™mut]                                     ‘nyamuk’
            /w/       wolu                            [wÉ”lu]              [whÉ”lu]                                    ‘delapan’
            /m/       mlayu                          [mlayu]            [mblayu]                                  ‘lari’
            /h/        ambah                          [ambhah]          [ambha]                                    ‘jelajah’

c.       Kekhasan Gramatikal Dialek Standar
Bahasa Jawa dialek standar memiliki prefiks, sufiks, dan konfiks. Dalam kaitannya dengan pemetaan dialek, beberapa afiks itu memeperlihatkan kekontrasan jika dibandingkan dengan dialek lain. Hal itu dapat dilihat pada uaraian berikut.
Prefiks dalam dialek standar meliputi {pa-, paN-, pi-, pra-, pri-, sa-/se-, ka-/ke-, mer-, N-, tak-, kok-, di-, kuma-, kapi-, mi-}. Prefiks yang menunjukkan kontras dengan dialek lain adalah {tak-/dak-, kok-}. Contoh bentuk kontras itu dapat dilihat berikut ini.


Afiks                                                   Fonetik                                               Glos
                                    Dialek             Dialek                         Dialek Pesisir
Standar          Banyumas                  Utara-Tengah
{tak-/dak-}      [ta?/dʰa?tuku]  [tÉ™ktuku]                     [ta?tuku]                      ‘kubeli’
{kok-}             [kÉ™?tuÓ€Un]      [ditʰulunÓ€ kowÉ›]          [mÍ»?/mbʰͻ?tulun]        ‘kau tolong’
Infiks dalam dialek standar berjumlah dua buah, yaitu {-in-} dan {-um-/-em-}. Infiks itu tidak memperlihatkan perbedaan dengan dialek lain.
Sufiks dalam dialek standar, yaitu {-an, -ku, -mu, -é/-né, -a, -i, -(a)ké, -en, -na, -ana}. Satuan ukuran jumlah, yaitu {-iji, -las/-welas, -puluh/-jinah, -likur, -atus, -èwu, -yuta, kaping/ping}. Sufiks yang menunjukkan kontras dengan dialek lain adalah {-(a)ké, -na, -mu}. Contoh bentuk kontras itu dapat dilihat berikut ini.
Afiks                                                   Fonetik                                               Glos
                                    Dialek             Dialek                         Dialek Pesisir
Standar          Banyumas                  Utara-Tengah
[-(a)ké][gʰambʰar(a)ke]            [gʰambʰar(a)kÉ™]           [gʰambʰar(a)ke             ‘gambarkan’
[-na]    [tulisnÍ»]                       [tulisna?, tuliskÉ™n]       [tulisnÍ»]                       ‘tuliskan’
[-mu]   [ibʰumu]                      [ibʰune kowÉ›]              [ibuÉ™m]                        ‘ibumu’
Konfiks dalam Bahasa Jawa, yaitu {paN-/-an, pi-/-an, ka-/-an, pra-/-an, N-/-i, N-/-a, N-/-an, mi-/-i, tak-/-(a)ké/né, tak-/-i, kok-/-(a)ké, kok-/-i, di-/(a)ké, di-/-i, di-/-ana, ke-/-a, ka-/-ana, ka-/-ana, ka-/-(a)ké, ka-/-an, ke-/-en, kami-/-en, in-/-an, -in-/-(a)ké, -in/-ana, -in/--na, -in-/-é, sa-/-é}. Kekontrasan yang menunjukkan kebersisteman pada prefiks dan sufiks juga berlaku pada konfiks. Sebagai contoh sufiks {-(a)ké} pada dialek standar yang bervariasi dengan {-(a)ken} pada dialek Banyumas berlaku juga pada konfiks, misalnya konfiks {di-(a)ké} dialek standar bervariasi dengan {di/-(a)ken} pada dialek Banyumas.

Afiks                                                   Fonetik                                               Glos
                        Dialek                         Dialek             Dialek Pesisir
Standar                      Banyumas      Utara-Tengah
{tak-/-(a)ké}    [ta?bʰalÉ›?ake]  [tÉ™?bʰalÉ›?akÉ™n]            [takbʰalekake] ‘kukembalikan’
{kok-/-na}       [kÍ»?dʰɛlÉ›hnÍ»]  [dʰidʰɛlÉ›hkÉ™n               [kÍ»kdʰɛlÉ›hnÍ»]  ‘kau letakkan’
marinkowÉ›]

C.    Ragam Tutur
Ragam tutur adalah variasi pemakaian bahasa menurut perbedaan suasana. Berdasarkan perbedaan suasana pemakaiannya,  ragam tutur bahasa Jawa dapat dibagi menjadi ragam formal, ragam informal, dan ragam literer (pustaka). Perbedaan bentuk di antara ketiga ragam itu cukup jelas. Bentuk bahasa ragam formal cenderung lebih lengkap sesuai dengan tata bahasa Jawa baku. Ragam formal banyak diapakai dalam bahasa tulis dan bahasa lisan suasana formal. Ragam informal bentuk bahasanya cenderung kurang lengkap, banyak pemendekan atau kontraksi kata. Yang dipentingkan oleh penutur pada ragam informal ialah asal pesannya sampai pada mitra bicara. Ragam informal banyak dipakai dalam bahasa lisan. Bentuk bahasa ragam literer lebih banyak menggunakan kosakata klasik dari bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Ragam literer banyak digunakan dalam bahasa pustaka[3].
Berikut contoh pemakaian kosakata ragam formal, informal, dan literer.

Ragam Formal
Ragam Informal
RagamLiterer
Arti
Sedya
Seja
Sedya
“tujuan, maksud”
Ikiwae
Kiwé
-           
‘inisaja’
Mengkodhisik
Ngkosik
-           
‘nantidulu’
Sampéyan
Samang
-           
‘engkau’

D.    Tingkatan Bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa terdapat dua tingkat tutur, yaitu Basa Ngoko dan Basa Krama.
1.      Bahasa Ngoko
Yang dinamakan dengan basa Ngoko yaitu wujud dari tata krama dalam berbahasa Jawa yang menggunakan kata ngoko. Terdapat awalan, sisipan di tengah pada kata ngoko yaitu: di-, -e, dan , ake. Bahasa Ngoko ini digunakan untuk berbicara antara orang tua kepada orang muda atau orang yang kedudukannya lebih tinggi kepada orang yang kedudukannya lebih rendah. Bahasa Ngoko juga digunakan kepada orang yang lebih dekat. Bahasa Ngoko ini terbagi menjadi dua, yaitu Ngoko Lugu dan Ngoko Alus.
a)      Ngoko Lugu
Ngoko Lugu yaitu wujud dari tata krama berbahasa Jawa yang semua katanya menggunakan kata ngoko, tidak menggunakan kata krama lugu maupun krama alus. Kata-kata ngoko digunakan untuk berbicara kepada orang pertama atau orang yang berbicara (O1), orang kedua atau orang yang diajak bicara (O2), dan orang ketiga atau orang yang dibicarakan (O3). Contoh atau tuladanipun:
                                                  i.            Aku wis mangan. (O1)
                                                ii.            Kowe wis mangan? (O2)
                                              iii.            Dheweke wis mangan. (O3)
Contoh yang menggunakan awalan, sisipan, atau akhiran dalam kalimat di awah ini.
                                                  i.            Saiki Dhusun Ponggok wis ngrasakkepadhange lampu listrik.
                                                ii.            Bukune wis diwaca adhiku wingi sore.
                                              iii.            Kanca-kancaku wis padha mulih kabeh.
b)      Ngoko Alus
Ngoko Alus yaitu wujud dari tata krama berbahasa Jawa kata-katanya tidak hanya menggunakan kata ngoko tetapi juga menggunakan kata krama  maupun krama alus. Namun, penggunaan kata krama atau krama alus tersebut digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara (O1) atau orang yang dibicarakan (O3). Contoh:
                                             i.             Dhuwite mau wis diasta apa durung, Mas?
                                           ii.            Sing ireng manis kae garwane Pak Rahmat.
                                         iii.             Kae simbah kakung lagi sare ing kamar.
Contoh di atas meskipun menggunakan kata krama, krama lugu, maupun krama inggil tetapi kalimat tersebut dinamakan krama alus. Tambahan yang digunakan dalam krama alus (yang melekat pada kata krama lugu atau krama inggil) masih sama seperti bahasa Ngoko, yaitu di-, -e, -ake, dan –ne. Pada contoh pertama di atas, “Dhuwite mau wis diasta apa durung, Mas?”. Pada kalimat tersebut yang diajak bicara (Mas) lebih tua sehingga menggunakan krama alus yaitu asta.[4]
2.      Bahasa Krama
Basa Krama yaitu wujud dari tata krama dalam berbahasa Jawa yang menggunakan kata krama dalam berbicara. Tambahan yang digunakan dalam bahasa Krama, yaitu dipun, -ipun, dan –aken. Bahasa Krama digunakan oleh orang muda kepada orang yang lebih tua atau orang yang kedudukannya lebih rendah kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi. Bahasa Krama dibagi menjadi tiga, yaitu Krama Lugu dan Krama Alus.
a)      Krama Lugu
Krama lugu disebut juga krama madya. Kata-kata yang digunakan dalam kalimat dapat berupa kata krama dicampur ngoko, madya, krama, maupun krama alus. Pada umumnya pada krama lugu menggunakan kata-kata krama, madya, sedangkan kata krama inggil atau krama andhap digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara. Contoh:
                                       i.                  Sakniki nek mboten main plesetan, tiyang sami kesed nonton kethoprak.
                                    ii.                  Mangga Yu, niku nyamikane ditedha, ampun dikendelke mawon.
Tambahan pada krama lugu terbentuk dari tambahan ngoko, sedangakan kata-kata kramanya banyak dipecah. Kata-kata krama alus pada kalimat digunakan untuk menghormati orang yang diajak bicara. Tambahan pada bahasa krama ini menggunakan tambahan ngoko. Tambahannya berupa di-, -ake, juga mang. Contoh:
                                            i.            Mas, tulung gawan kula niki mangandhapake riyin.
                                          ii.            Bank BRI niku mboten saged nglintoni arta dolar.
b)      Krama Alus
Krama Alus yaitu wujud dari tata krama dalam berbahasa Jawa yang semua kata-katanya menggunakan bahasa krama maupun krama inggil. Tambahan yang digunakan dalam ragam krama yaitu dipun-, -ipun, dan –aken. Kata-kata krama madya dan juga ngoko tidak dapat digunakan dalam ragam krama alus ini. Penggunaan kata-kata krama inggil untuk menghormati orang yang diajak bicara. Contoh:
                                           i.               Tembung-tembung punika anggen kula nglempakaken piyambak saking buku.
                                         ii.              Sarana pitulunganipun Gusti Allah, Nabi Musa saged wilujeng.[5]

E.     Kerata Basa
Dalam bahasa Jawa “kerata” berarti memahami asal usul, dalam hal ini asal usul bahasa, ditinjau dari suku katanya. Kerata basa disebut juga akronim. Dalam kerata basa suku kata depan atau suku belakang bisa dicampur aduk, yang akronim tersebut memberi makna yang sama bagi sebuah kata. Kerata basa juga disebut “jarwa dhosok” (Jarwa: penjelasan; Dhosok: salah satu artinya adalah menyatukan. Dengan demikian “jarwa dhosok” kurang lebihnya diartikan: Penjelasan dari sebuah kata (dari penyatuan suku kata).[6] Contoh:
1.      Brekat: Mak brek diangkat. Penjelasan: dalam acara selamatan, setelah selesai biasanya yang hadir, pada umumnya duduk lesehan, diberi berkatan makanan, kue, buah-buahan, dll. Diletakkan di depan kita “breg” dan waktu pulang tentu saja akan di “angkat”.
2.      Guru:  digugu lan ditiru. Penjelasan: orang yang disebut sebagai guru, semua sikap dan ucapan nya dapat menjadi teladan.
3.      Gedhang: digeget bar madhang. Penjelasan: pisang pada umumnya merupakan hidangan selesai makan. Jadi “digeget” (digigit) setelah makan (bar madhang).
4.      Garwa: sigaraning nyawa. Penjelasan: garwa adalah istri. Sudah tentu istri adalah belahan jiwa.
5.      Krikil: keri ing sikil. Penjelasan: yaitu batu kecil yang ketika diinjak tanpa sepatu atau sandal maka akan terasa geli kakinya.
6.      Wanita: wani ing tata atau wani mranata. Penjelasan: perilaku wanita lebih disorot daripada pria. Jadi wanita harus lebih berani menjaga “tata” atau aturan.
7.      Kaji: tekade mung siji. Penjelasan: orang yang naik haji tentu saja dengan tekad satu, menjalankan ibadah rukun islam yang kelima.
8.      Sruwal: saru yen nganti uwal. Penjelasan: sruwal adalah celana. Jangan sampai “uwal” atau lepas. Kan “saru” atau tidak pantas.
9.      Tandur: ditata karo mundur. Penjelasan: kalau kita jalan-jalan ke sawah pada masa tanam padi, kita melihat bagaimana ibu-ibu di desa menanam padi. Baris berjajar rapi sambil melangkah mundur setiap satu baris selesai tanam.
10.  Tuwa: ngenteni metune nyawa. Penjelasan: orang yang tua diakatakan orang yang menunggu keluarnya nyawa.[7]

F.     Persamaan Kata dalam Bahasa Jawa dengan Bahasa yang lain
Pada dasarnya Bahasa Jawa memiliki banyak kesamaan dengan bahasa suku yang lain seperti bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Palembang. Namun mayoritas persamaan kata yang ditemukan mirip dengan bahasa Sunda tetapi memiliki makna yang berbeda. Kesamaan tersebut berupa pengucapan dan penulisannya. Berikut ini adalah beberapa kata dalam Bahasa Jawa dengan bahasa suku yang lain memiliki kesamaan penulisan dan pengucapan (homonim), kesamaan pengucapan (homofon), tetapi memiliki arti yang jauh berbeda.
Kata
Arti dalam bahasa Jawa
Arti dalam bahasa Sunda
Atos
Keras (ngoko)
Sudah (halus)
Cokot/nyokot
Gigit (ngoko)
Ambil (kasar)
Gedhang
Buah pisang
Buah pepaya
Sangu
Uang saku/bekal
Nasi
Urang
Udang
Aku
Amis
Bau (anyir)
Manis
Sare
Tidur (halus)
Tidur (kasar)
Ambu
Aroma
Ibu
Angel
Susah (ngoko)
Lama
Budhal
Pergi
Bubar/buyar
Dhahar
Makan (halus)
Makan (kasar)
Geulis (dengan pengucapan sama dengan Gelis)
Cepat
Cantik
Getek
Perahu rakit
Geli
Kasep
Terlanjur
Ganteng
Awak
Badan
Badan
Dodol
Jualan (ngoko)
Makanan
Sampean
Kamu (krama)
Kaki
Ical
Hilang (halus)
Jual
Adus
Mandi
Mandi besar

Kata
Arti dalam bahasa Jawa
Arti dalam bahasa Palembang
Lawang
Pintu
Gila

Kata
Arti dalam bahasa Jawa
Arti dalam bahasa Bali
Mbok
Ibu/ nenek
Mbak/ kakak perempuan

Kata
Arti dalam bahasa Jawa
Arti dalam bahasa Melayu
Awak
Badan
Saya

G.    Bahasa Pujian dan Bahasa Ejekan

Dalam bahasa jawa jogja-solo, banyak di temui kata-kata ejekan, umpatan (pisuhan) ataupun pujian.
Kata-kata ejekan/umpatan ini di pakai ketika seseorang marah, bergurau, atau mengejek temannya. Kata ejekan/umpatan ini tak jarang mengambil nama-nama sesuatu yang ada di sekitar kita.
Contoh:
Bajigur, adalah minuman hangat khas Jawa Barat. Kata ini menjadiØ pisuhan yang sangat Jogja sekali. Merupakan eufemisme dari kata pisuhan Bajingan.
Cangkemmu, bahasa halus dari Cocote
Cokormu, telapak kakimu.
Gentho, makna aslinya adalah Maling.
Gendheng, makna aslinya adalah gila
Kemplu, biasanya dipasangkan dengan Kere.
Kere, mengatai si obyek pisuhan sebagai orang miskin.
Ndasmu, berarti kepalamu.
Pekok, berarti tolol.
Pethuk, masih berarti tolol.

Selain itu, juga terdapat bahasa pujian. Baik itu pujian untuk sesama masyarakat atau kepada Tuhan, Rasul dan sebagainya. Bahasa pujian yang ditujukan kepada sesama, biasanya berupa kata-kata yang memuji atau mengelu-elukan.
Contoh :
“wah jan, pinter tenan to koe nduk, putrane sopo je!” ,
 “ayu tenan putu ku iki!” ,
ganthenge koyo satrio, dsb.
Sedangkan bahasa pujian untuk Tuhan, Rasul atau yang lainnya, biasanya di kemas dalam syair. Misalnya : di Jejeran Wonokromo Bantul, Sholawat Nabi untuk melakukan pujian kepada Nabi Suci Muhammad SAW dikemas dalam nuansa khas Jawa yang dipadukan nuansa arab. Dengan bahasa yang di gunakan dalam sholawat nabi adalah bahasa jawa halus yang di campur dengan bahasa arab[8].

H.    Pemertahanan Bahasa Jawa
Bahasa Jawa masih tetap dianggap dan dijadikan norma baku dalam komunikasi (Suyata dan Suharti, 2007:3). Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk mempertahankan bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi. Usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam rangka pemertahanan eksistensi bahasa Jawa, antara lain adalah:
1.      upaya penguatan filosofi budaya dan bahasa Jawa,
2.      pengembangan dan peningkatan lomba dan festival bahasa Jawa.
3.      penyebarluasan dan penanaman nilai budi pekerti dalam ungkapan-ungkapan bahasa Jawa,
4.      peningkatan dan pengembangan seni pertunjukan Jawa,
5.      menciptakan dan menjaga eksistensi bahasa Jawa melalui penggunaan bahasa Jawa di lingkungan instansi (kantor, sekolah, lembaga terkait).
Di samping upaya tersebut, diperlukan strategi-strategi yang berkelanjutan dalam upaya pemertahanan bahasa Jawa. Strategi yang ditempuh di antaranya menjadikan bahasa Jawa:
1.      sebagai alat komunikasi,
2.      penyatuan bahasa dan budaya,
3.      kearifan lokal,
4.      kebijakan Pemda,
5.      dunia pendidikan,
6.      kegiatan LSM, dan
7.      Jurnalistik Jawa.
Upaya-upaya yang relevan dengan pemertahanan, pelestarian, dan pengembangan bahasa Jawa melalui penggalian nilai naskah kuna dan aneka kegiatan lain, amat penting bagi identitas Yogyakarta sebagai kota budaya, khusus lewat dunia pendidikan, pemertahanan bahasa Jawa dapat dikembangkan dengan efektif dan sangat penting. Model-model atau upaya pemertahanan bahasa Jawa di DIY menunjukkan bahwa bahasa Jawa masih hidup, berkembang dan secara aktif digunakan oleh pemiliknya[9].






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Bahasa Jawa Yogyakarta memiliki beberapa kekhasan lingual. Kekhasan itu berupa tata bunyi (fonetik), struktur (gramatika), dan kosakata (leksikon). Kekhasan dialek bahasa Jawa standar ini akan sangat terlihat jika dikontraskan dengan dialek bahasa Jawa yang lainnya.
Apabila kita lihat dari perbedaan suasana pemakaiannya,  ragam tutur bahasa Jawa dapat dibagi menjadi ragam formal, ragam informal, dan ragam literer (pustaka). Ragam formal banyak diapakai dalam bahasa tulis dan bahasa lisan suasana formal. Ragam informal bentuk bahasanya cenderung kurang lengkap, banyak pemendekan atau kontraksi kata. Bentuk bahasa ragam literer lebih banyak menggunakan kosakata klasik dari bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Ragam literer banyak digunakan dalam bahasa pustaka.
Dalam bahasa Jawa terdapat tingkatannya :
1.      Bahasa ngoko yang terdiri dari ngoko lugu dan ngoko alus, dan
2.      Bahasa krama yang terdiri dari krama lugu dan krama alus.
Ditemukan juga kerata bahasa atau disebut juga akronim. Dalam kerata basa suku kata depan atau suku belakang bisa dicampur aduk, yang akronim tersebut memberi makna yang sama bagi sebuah kata.
Bahasa Jawa juga ditemukan kesamaan kata dengan bahasa dari daerah lain, meskipun lisan dan tulisannya sama, tetapi biasanya arti dari keduanya tersbut berbeda.
Di zaman modern ini, pemerintah harus turut berupaya dalam mempertahankan Bahasa Jawa, beberapa upaya yang dilakukan pemerintah antara lain menajdikan bahasa Jawa sebagai:  
1.      sebagai alat komunikasi,
2.      penyatuan bahasa dan budaya,
3.      kearifan lokal,
4.      kebijakan Pemda,
5.      dunia pendidikan,
6.      kegiatan LSM, dan Jurnalistik Jawa.

B.     Saran
Dengan mempelajari bahasa Jawa diatas, diharapkan kita sebagai mahasiswa khususnya penutur bahasa Jawa bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar. Dan mahasiswa bisa turut serta bersama pemerintah mengupayakan pemertahanan bahasa Jawa karna bahasa Jawa termasuk bahasa yang sangat banyak penuturnya dan tidak tergeser oleh modernitas yang menjadi salah satu faktor tergesernya bahasa Jawa.
















DAFTAR PUSTAKA
Endang N, Mulyana, Hesti M, dan Suwardi. (2013). “Strategi Pemertahanan Bahasa Jawa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor 1. 159-166
Muljono, Iwan M. “Memahami Kerata Basa.”
Sentosa, Sedya. 2013. Penguasaan Bahasa Daerah dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI. Yogyakarta: Mandiri Grafindo Press
Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.



[1] Wedhawati, dkk.Tata Bahasa Jawa Mutakhi, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2006}, hlm.1-2
[2] Ibid. Hlm. 13
[3] Wedhawati, dkk.Tata Bahasa Jawa Mutakhi, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2006}, hlm.12
[4]Sedya Sentosa, Penguasaan Bahasa Daerah dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI, (Yogyakarta: Mandiri Grafindo Press, 2013), hlm. 103-105
[5]Ibid., hlm. 105-107
[6]Iwan M. Muljono, “Memahami Kerata Basa”, diakses dari http://iwanmuljono.blogspot.co.id./2012/06/memahami-kerata-basa.html?m=1, pada tanggal 26 Maret 2017 pukul 11.17 WIB
[7]Sedya Sentosa, Penguasaan Bahasa Daerah dan Pembelajarannya untuk PG-SD/PG-MI, (Yogyakarta: Mandiri Grafindo Press, 2013), hlm. 130
[9] Endang Nurhayati, Mulyana, Hesti Mulyani, dan Suwardi,  Strategi Pemertahanan Bahasa Jawa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor 1, April 2013

kenapa???

kenapa?? selalu orang lain melihat dari apa yang nampak saat ini, ia tak pernah melihat bagaimana proses yang telah dilakukan sebelumnya. ...